Family's Day Out

Untuk mengisi kegiatan di hari libur ini, Arunika mengadakan acara Family’s Day Out!! Nanti akan ada permainan tradisional, shadow puppet, serta potluck. 

Acara ini akan diadakan pada hari Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 09.00 - 13.00 
di Sekolah Arunika Waldorf
Jl. Ligar Melati 60A
Bandung.
Berhubung cuaca sering hujan, mohon untuk membawa:
-payung/ jas hujan
-baju ganti
-botol minum dan alat makan sendiri
-tikar piknik
-jangan lupa juga untuk membawa makanan a plate to share. 


Acara ini terbuka untuk umum dan akan ada donasi minimal sebesar Rp.50,000,-. Untuk info lebih lanjut sila menghubungi nara hubung kami, Ibu Windhi di 085723395656
.
Sampai bertemu di hari Sabtu!


Liburan di Arunika Waldorf

Related Posts:

Merajut Benang

"Sebuah rangkaian benang yang dirajut membentuk rantai tunggal yang sangat sederhana, dikerjakan hanya menggunakan tangan (jari-jemari).
Anak-anak didorong untuk belajar hal ini pada usia taman kanak-kanak, karena diyakini ada hubungan yang erat antara gerakan jari, berbicara dan berpikir.
Steiner mengatakan bahwa,  ‘Proses berpikir adalah proses “merajut” alam semesta menjadi satu kesatuan yang harmonis (cosmic) - seseorang yang tidak terampil dalam dalam menggunakan jari-jemarinya, tidak akan terampil dalam menggunakan kecerdasannya, kurang memiliki gagasan-gagasan dn pemikiran-pemikiran yang mengalir."
- Jagad Alit -

Merajut Benang

Related Posts:

Pelatihan Guru Kelas Sekolah Waldorf di Bandung

Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education.”  Rudolf Steiner

Pelatihan Guru Kelas Sekolah Waldorf di Bandung adalah sebuah kegiatan khusus untuk guru-guru atau calon guru maupun pegiat pendidikan yang berlandaskan filosofi Pendidikan Waldorf.
Kegiatan yang menyentuh nalar, rasa, dan karsa ini menjadi sangat menarik karena selalu ada hal-hal baru yang didapatkan setiap semesternya.
Materi yang dipadupadankan dengan praktik, baik itu art, crafting, dan movement atau eurythmy ini sangat menggugah semua kesadaran.
Sebagai pendidik maupun sebagai manusia pembelajar, kita semakin sadar bahwa kebutuhan belajar setiap waktu menjadi keharusan.
Beberapa tayangan di bawah ini hanya kilasan-kilasan kegiatan Waldorf Grade School Teacher Training.





Related Posts:

Ngaji Filsafat Rudolf Steiner

Love starts when we push aside our ego and make room for someone else.”  Rudolf Steiner

Untuk mengenal Pendidikan Waldorf, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah, filosofi, dan tentu saja Rudolf Steiner. Pendidikan Waldorf dikenal pula sebagai Pendidikan Steiner. Sistem ini dikembangkan oleh Rudolf Steiner dari Austria. Pendidikan di Sekolah Waldorf mementingkan imajinasi dan kreativitas dalam pembelajaran. Misi sekolah ini adalah mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang merdeka, utuh, dan memiliki tanggung jawab sosial. Guru dipandang memiliki tugas suci membantu perkembangan jiwa dan rasa anak-anak. Setiap anak dibantu agar mereka bisa mencapai yang terbaik sesuai potensi masing-masing.

Workshop Pengenalan Pendidikan Waldorf di Ecocamp, Bandung (Arunika Waldorf)


Lebih lanjut, di kanal youtube ada sebuah kajian filsafat yang membahas seputar Filsafat Pendidikan Waldorf! Sangat menarik, silakan disimak kajian filsafat berikut ini:



Related Posts:

Pendidikan yang Merdeka

Kita hidup di sebuah zaman yang berbeda dengan orang tua kita, pun dengan anak-anak. Mereka akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita saat ini. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan dihadapi oleh mereka kelak. Kita hanya bisa mempersiapkan mereka untuk dapat menjawab tantangan yang ada kelak. 

Untuk itulah pendidikan diarahkan untuk dapat menjawab tuntutan di zamannya nanti. Salah satu cara mempersiapkannya adalah dengan memberikan pendidikan yang akan membebaskan mereka memilih "alat" yang dapat digunakan dikemudian hari. Sebuah pendidikan yang memerdekakan. Dalam hal ini kita tidak akan pernah tahu keahlian apa yang akan dibutuhkan kelak, sehingga menyiapkan cara untuk dasar bertahan menjadi penting.


Pendidikan Yang Merdeka

Sebuah pendidikan yang tidak hanya mengarahkan anak pada sebuah keahlian, namun sebuah pendidikan yang dapat membantunya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu di awal pendidikannya, memperkaya imajinasi, rasa dan bahasa, serta menguatkan will menjadi tujuan yang ingin dicapai. Agar kelak anak dapat mengetahui ke mana ia ingin pergi dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di zamannya kelak. Kemudian anak-anak pun dididik untuk melihat bahwa dunia merupakan tempat yang indah, mengasah perasaan agar tidak hanya bertindak berdasarkan kognisi, namun juga dapat berempati dengan lingkungan sekitarnya. Pendidikan pun dilanjutkan untuk mengasah pemikirannya dengan menghadirkan pengajar yang mencintai apa yang mereka pelajari sehingga anak-anak mendapatkan sebuah inspirasi dari pengajarnya. 

Semua hal ini tentu menjadi bekal mereka sehingga kelak ketika mereka mulai menapakkan kaki di dunia di luar pendidikannya ia dapat  menjadi manusia yang merdeka baik dalam menentukan tujuan hidupnya maupun menggunakan keahlian yang dimilikinya.


Related Posts:

Sekolah Itu Indah

Saya bukan guru. Saya bukan tukang kebun.Tapi hari itu, saya jadi dua-duanya. Dan layaknya pegawai teladan di hari pertama bekerja, tentu saja semua pekerjaan dilakuka n dengan kesungguhan hati. Datang pagi-pagi sekali. Menyapa kepala sekolah dan guru-guru. Pakai seragam apron. Bebas pilih pekerjaan. Mulai bekerja. Mencabuti rumput. Menguras kolam ikan. Menangkap ikan. Membuang lumpur. Menyikat kolam. Mengisi kembali. Melepaskan ikan. Menyimpan peralatan. Selesai. 

Pekerjaan di pagi hari itu, adalah hal yang paling menyenangkan buat saya. Seperti pemanasan sebelum olahraga, bergerak dan bekerja artinya menyiapkan tubuh untuk kegiatan selanjutnya. Dan juga menyiapkan hati. Saya yang biasanya selalu grogi setiap bertemu orang-orang baru, jadi merasa lebih siap dan gembira setelah bekerja. Mungkin karena berhasil menyelesaikan satu pekerjaan, ada rasa bangga pada diri sendiri dari kesuksesan kecil tadi, mungkin juga karena darah lebih mengalir setelah berkeringat, saya jadi lebih lancar bicara dan menyapa anak-anak yang datang. 

Rupanya di tengah saya mengaduk-aduk lumpur di kolam, beberapa anak sudah mulai berdatangan. Sebagian yang penasaran, mengintip-intip apa yang sedang saya lakukan. Sebagian yang  lebih berani, mendatangi saya dan bertanya. Yang lebih penasaran dan berani, akan ikut bekerja bersama saya. Ikut-ikutan menyikat dengan sapu. Ikut-ikutan bermain jaring. Ikut-ikutan menyentuh ikan. Ikut-ikutan membuang dedaunan berlumpur.

Sore Seru Arunika Waldorf 

Sehari sebelumnya, saya dapat wejangan tertulis dari Bu Kepala Sekolah. Salah satu pesan yang saya ingat baik-baik, adalah, “we ask you to hold off the prohibitions and warnings for the children when they are in the process of exploring their world…”. Yang kedua, “Children under 7 years old naturally imitate everything they can sense in their environment…”

 Anak-anak bisa merasakan emosi, perasaan kita itu semua tercermin dari sikap tubuh, gestur, cara bergerak, cara bertutur kata. Semua dirasakan. Semua ditiru. Baru sekarang saya sadar, betapa kuatnya arti kata ‘meniru’. Bagaimana seandainya saya tidak menikmati pekerjaan yang saya lakukan. Bagaimana raut muka saya ketika menyentuh lumpur. Bagaimana ekspresi saya ketika memindahkan ikan. Bagaimana suara saya jika takut bertemu kodok. Bagaimana kalau saya melarang mereka mendekat karena takut kotor. Pesan apa yang kita sampaikan kepada mereka? Jadi, hindari melarang, dan tirukan yang baik. Kedua pesan tersebut  yang saya ingat selalu selama berkegiatan sepanjang hari. 

Bukan cuma saya yang bekerja. Guru-guru lain, semuanya bekerja. Ada yang mencabuti rumput, ada yang menyapu, kemudian memisahkan biji kapuk, memotong buah untuk dimakan nanti. Semua sibuk berkegiatan. Semua kegiatan yang berarti, yang bermanfaat. Anak-anaknya bebas berbuat apa saja. Ada yang ikut memotong buah. Ada yang bermain bersama temannya yang lain. Semua bebas melakukan apa saja. 

Setelah semua datang, sekolah dimulai. Diawali dengan Circle Time. Anak-anak dipanggil untuk berkumpul bersama, memanggilnya dengan lagu. Saya ikutb ermain dan bergandengan tangan bersama.Kemudian cuci tangan dengan iringan lagu lembut yang dinyanyikan Bu Guru. Kemudian masuk kelas. Di dalam kelas, anak-anak bebas memilih permainan. Mau main sendiri atau bersama. Guru kembali bekerja. Menyiapkan makanan untuk dimakan bersama. Atau membersihkan ruangan kelas. Atau menjahit. Atau merajut. Lagi-lagi, semua pekerjaan berarti.

Beberapa anak ikut membantu. Yang lain bermain. Selesai bermain, anak-anak membereskan mainan, tentu dengan iringan lagu lembut dari Bu Guru. Begitupun saat akan makan. Dan setelah selesai makan.Sebelum story telling dimulai. Menyusun bangku. Duduk bersama. Mendengarkan cerita. Semua ada ritmenya. Tidak ada teriakan instruksi atau menyuruh-nyuruh.Tidak ada teriakan memanggil-manggil. Setiap transisi kegiatan mengalir dengan sangat halus, lembut mengalun. Suasananya hangat dan nyaman, aman, seperti sedang berada di dalam rumah.  

Hari itu saya masuk ke dunia mereka. Hari itu saya beruntung karena dapat menjadi bagian dari dunia mereka. Bekerja, bermain, dan makan bersama mereka. Mereka pun menyambut kehadiran saya. Tanpa malu-malumereka mengajak bermain, tertawa, dan bermanja bersama saya. Karena saya menjadi bagian dari dunia mereka. Sepanjang hari di sana, saya terus bekerja. Jika cuma melihat-lihat, maka bisa jadi pikiran ini akan mulai membanding-bandingkan, mencari-cari kekurangan. Tapi ketika tangan bekerja, tidakada waktu dan ruang bagi si pikiran untuk menjadi liar tak terkendali. Karena apa yang kita pikirkan, bisa jadi ikut dirasakan oleh anak-anak. Maka lakukan pekerjaan yang baik, pikirkan yang baik.

Saya ingat hari itu saya bersenang-senang. Senang bekerja. Senang bermain. Senang makan bersama. Senang mendengarkan cerita. Sedih ketika harus pulang. Hari yang seharusnya jadi waktu observasi sekolah, malah saya lupa lakukan. Terlalu hanyut bekerja. Terlalu hanyut bermain. Tapi dengan berada di sana, saya cukup merasakan. Di dunia sekolah waldorf, ada perasaan yang tak tampak, tapi benar terasa di dalam hati, ada rasa harmonis, damai, indah. Di dunia, semuanya baik. Di dunia ini, semua ada tempatnya, semua ada perannya. Betapa menyenangkan bisa sekolah di sana. Betapa menyenangkan jika di rumah pun begitu suasananya.

Saya pulang ke rumah dengan membawa pengalaman perasaan itu. Saya ingin sekali bersekolah di sana. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya di sana. Tapi orang tua adalah guru pertama, rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Yang mampu saya lakukan sekarang adalah belajar untuk berusaha memberikan hal terbaik dari diri saya, untuk keluarga saya. Saya belajar untuk berusaha memantaskan diri supaya layak ditiru anak-anak. Sampai hari ini pun terus berusaha. Jadi diri sendiri, tapi lebih baik lagi. Tanpa pamrih, tanpa berpura-pura dan berharap anak langsung mengopi. Biarpun sulit, tapi sekecil apapun usaha untuk berbuat lebih baik, pasti akan membawa kebaikan untuk anak-anak kita.  

Sekolah Itu Indah adalah tulisan dari Graceana, seorang pegiat waldorf Balikpapan dan peserta Bandung Waldorf Grade School Teacher Training

Related Posts:

Sore Seru Di Arunika Waldorf

"Receive the children in reverence, educate them in love, and set them forth in freedom" (Rudolf Steiner). 

Saat ini kebutuhan akan sekolah yang mengedepankan keindahan, kelembutan menjadi sangat penting.

Ada yang pernah mendengar sekolah Waldorf atau Sekolah Steiner? Pendidikan Steiner ini sangat indah lho dan mengedepankan kebutuhan anak, bukan kebutuhkan kurikulum atau tekanan masyarakat.

Anak-anak belajar untuk mencintai dirinya, manusia lain dan pengetahuan.

Sangat menarik kan...
Bagaimana cara ikutan? 

Yuk kenalan dengan metode belajar di Sekolah Waldorf.

Pada:

*Rabu*
*25 April, 2 Mei dan 9 Mei*
*Jam 15-17 WIB*
*Jagad Alit, jl. Babakan Jeruk IIIE*
https://goo.gl/maps/QTp7h1uhuyN2
*usia: 6,5 -9 th*

Di sini anak-anak akan belajar melalui Finger Knitting, juga bernyanyi, bermain permainan tradisional dan menggunakan kisah (dongeng) sebagai pengantar. 

Asyik kan?
Mari langsung mendaftar ke Ami 081931454591

Karena kuota anak sangat terbatas


Related Posts:

7 Tahun Pertama di Pendidikan Waldorf

Filosofi pendidikan waldorf berbeda dengan pendekatan lain tapi memiliki irisan yang hampir sama. Sama-sama fokus pada tumbuh kembang anak pada fase-fase tertentu. Di sekolah waldorf, perkembangan anak diperhatikan dengan baik karena akan memberikan kontribusi para perkembangan di fase-fase berikutnya. 

Ditahap pertama mulai dari 0 sampai 7 tahun. 0-7 disebut sebagai tujuh tahun pertama. Di tahun ini, anak membangun karsa (kehendak, keinginan) atau will. 

Di tahap ini anak belajar meniru orang dewasa. Anak mesti menangkap kesan baik dan rasa aman lewat hal yang muncul dalam keseharian. Rasa aman ini didapatkan pula lewat keteraturan pola rutinitas sehari-hari di mana anak mendapatkan prediksi tentang kehidupan sekaligus belajar membangun ritme dalam menjalani hidupnya. 

Nah ritme ini menjadi sangat penting buat anak. Di playgroup waldorf, ritme dijaga agar anak mampu menangkap pembelajaran dari dalam dirinya.

Di tahap ini, guru nyaris tidak ada instruksi, guru hanya menyontohkan saja, menjadi teladan buat anak-anak.
Rudolf Steiner mengibaratkan pendampingan anak selama kurun waktu ini seperti kita menanam benih tumbuhan. 

Kita tidak perlu mengajarkan tumbuhan itu bagaimana cara tumbuh, bermetamorfosis atau cara menyerap nutrisi lewat akar. Kita hanya perlu menyediakan lingkungan terbail untuk benih tersebut: air, tanah yang subur, udara yang baik, sinar matahari yang cukup, serta doa beserta rasa kasih sayang.

Merajut di Sekolah Waldorf (Arunika Waldorf)

Related Posts:

Dunia Ini Baik

Dalam situasi sekarang ini dimana banyak peristiwa yang tidak mengenakan terjadi di sekeliling kita, merupakan tantangan tersendiri untuk merasakan bahwa dunia ini baik. Konflik, peperangan, bencana alam, kecelakaan, pembunuhan, korupsi, dan banyak peristiwa menyedihkan lain yang kita saksikan sendiri ataupun kita lihat di media elektronik, yang kita alami sendiri ataupun yang dialami orang lain membuat kita mungkin merasa khawatir akan masa depan dunia ini. 

Di suatu pagi saat sinar mentari mencoba menyelinap memberi kehangatan di sela-sela desiran angin dingin, terdengar suara kecil menyapa, “Bu Kenny...Bu Kenny tau ga BEJ ambruk?” Agak terkejut mendengarnya dan saya hanya menjawab seadanya, “oiya...tau.” Kemudian suara kecil itu beralih kepada makhluk-makhluk kecil di smapingnya, “ambruknya begini lo...” ia mempergakan dengan tangannya sambil mengeluarkan suara bagaimana ambruknya gedung tersebut. Iapun berkata, “ambruknya itu karena ada penumpukkan orang!” Saya mencuri-curi dengar dan tergoda untuk bertanya, “tau dari mana?” Iapun menjawab, “dari berita.”

Susan Weber, seorang yang banyak berkiprah dalam dunia pendidikan Waldorf, mengatakan dalam sebuah tulisannya, “For the child just beginning life, there is one single mantra that needs to guide those early steps and years: the world is good. Nothing brings stamina for life and daily well being to our children more directly and strongly than surrounding them and immersing them into an atmosphere of goodness and joy.”

Seorang bayi menikmati kehidupannya dalam rahim sang ibu yang begitu aman, nyaman, dan hangat, dan kemudian mereka hadir di sebuah dunia yang baru yang begitu asing bagi mereka. Apa yang kita rasakan ketika kita harus pindah rumah, pindah tempat kerja, pindah kota, pindah ke lingkungan yang baru? Saya berani mengatakan bahwa pasti sedikit banyaknya akan ada rasa khawatir, atau rasa takut, bertanya-tanya seperti apakah tempat yang baru itu, apakah tempat yang baru itu akan emmberikan keamanan, kenyamanan dan kehangatan? Dan ketika ada tetangga, teman kerja, ataupun keluarga yang menceritakan hal-hal buruk mengenai tempat yang baru tersebut, maka kita akan berpikir kembali untuk memutuskan apakah jadi pindah atau tidak, kita akan menjalani kehidupan di tempat yang baru dengan perasaan was-was, atau malah kita akan memutuskan untuk kembali ke tempat yang lama. 

Anak-anak memiliki organ-organ pengindera yang sangat luar biasa. Mereka mengamati dan menyerap apa yang mereka lihat, dengar, bahkan mereka rasakan. Mereka begitu terbuka. Tetapi mereka belum bisa menginterpretasikan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Mereka baru saja hadir di dunia yang serba asing ini. Tujuh tahun bahkan empat belas tahun kehidupan mereka di dunia ini merupakan waktu yang terlalu singkat bagi mereka untuk dapat mengerti dan menerima hal-hal buruk yang ada di dunia ini. Pesan yang mereka cari dari kita adalah, “saya bahagia hidup di dunia yang baru ini. Dunia yang baru ini begitu menyenangkan dan saya ingin tinggal di dalamnya. ” Merekapun membutuhkan sebuah kepercayaan yang akan meyakinkan mereka bahwa dunia ini baik adanya dan oleh karena itu saya ingin memasukinya, saya ingin tahu, saya ingin melihatnya, saya ingin menyentuhnya, saya ingin mengeksplorasi, saya ingin menemukan hal-hal yang baru dan baru lagi. Saya ingin ingin merasakan semua yang ada di dalamnya dengan segala kepercayaan diri saya terhadap dunia yang baik dan indah ini. Jika pesan yang mereka dapatkan adalah ketidakbaikkan dari dunia ini, maka bisa dibayangkan bahwa mereka akan “kembali masuk” ke dalam dirinya sendiri, menutup diri, merasa khawatir, takut, tidak percaya diri, takut mencoba hal-hal baru. Binar-binar di matanya akan meredup. Bagaimana mereka bisa percaya diri, tertarik dan mau mencoba hal-hal baru, jika mereka merasa dunia ini tidak aman?

Dunia Ini Baik (Arunika Waldorf)

Dunia Ini Baik, Nak!


“We owe to them their birthright: the world is good and I am grateful and happy to be in it. It is a safe place for me to grow in. And later, much later, I will be able to take on its pain and burdens. But give me time, peace, and space in which to discover the goodness in life for myself, in which to grow strong, capable, brave, and enthusiastic for life. Protect me from the challenges of adulthood until I am ready.” Ada waktunya...ada waktunya mereka akan dapat mengerti dan menerima apa yang tidak mengenakkan di dunia ini. Ketika mereka sudah siap, ketika sudah tumbuh kepercayaan dalam diri mereka bahwa dunia ini baik dan indah. 

Jauhkanlah berita-berita buruk dari kehidupan mereka baik dalam obrolan sehari-hari maupun dari media lain yang dapat dijangkau anak-anak. Sebagai orang tua, tumbuhkanlah sense of wonder, sekecil apapun, dalam diri kita dari apa saja yang kita lihat, dengar dan rasakan. Lihatlah sekeliling kita. Rerumputan yang basah oleh air hujan, embun di pagi hari, bunga yang tumbuh bersemi, kupu-kupu yang beterbangan kesana dan kemari. Dengarkanlah desiran angin, suara air hujan, kicau burung di pagi hari. Rasakan hangatnya mentari. Nikmati sinar bulan dan bintang di malam hari. Yang seperti itu akan mengingatkan kita pada “keajaiban” dan betapa menakjubkannya dunia ini. Temukan puisi-puisi yang indah. Senandungkan lagu-lagu yang menenangkan.  And see if, step by tiny step, you can rediscover, in difficult times, that the world truly is good.

Steadfast I stand in the world
With certainty I tread the path of life
Love I cherish in the core of my being
Hope I carry into every deed
Confidence I imprint upon my thinking.
These five lead me to my goal
These five give me my existence.
-Rudolf Steiner-

Dunia Ini Baik adalah catatan Kenny Dewi, pegiat pendidikan waldorf di Indonesia. Tulisan ini diambil dengan izin. Sumber asli bisa lihat di http://jagadalitschool.blogspot.co.id/2018/01/dunia-ini-baik.html?m=1

Related Posts:

Sekolah Bukan Bengkel

Bengkel adalah tempat yang kita tuju ketika mobil kita rusak, Untuk diperbaiki tentunya. Kita tinggal kirim mobil kita, lalu kita tinggalkan atau tunggui, lalu saat selesai, voila! mobil sudah kembali baik. Oh jangan lupa bayar kewajibannya.

Sekolah bukanlah bengkel sebagaimana anak bukanlah mobil rusak. Hal ini sudah disadari banyak orang tua sehingga dalam pencarian mereka terhadap suatu sekolah, mereka mencari sekolah yang bisa memberi masukan terhadap perjalanan mereka mendidik anak-anak mereka. Orang tua pun kini dalam mencari sekolah mempertimbangkan gaya atau pendekatan dalam mengajar oleh beda-beda sekolah, latar belakang guru-guru, prinsip pendidikan yang dianut oleh sekolah. Mereka mencari sekolah yang satu visi, atau minimal sejalan dengan prinsip mereka dalam mendidik anak.

Maka, semakin banyak pula orang tua yang enggan menyerahkan seratus persen pendidikan anaknya pada sekolah. Hal ini tentu saja sangat baik. Orang tua yang mengambil porsi besar pendidikan anak pada bahunya sendiri, akan mencari sekolah yang bisa dijadikan partner, pendamping, dan kolaborator dalam memberikan yang terbaik pada anak mereka. Pergi ke sekolah bukan lagi sama dengan mengirim anak seharian penuh dan pulang sampai rumah sudah pintar dan soleh, tapi sebagai pelengkap dari apa yang belum dialami anak di rumah. Karena bagaimana pun juga anak meluangkan waktu lebih panjang bersama keluarga dan pengasuh daripada dengan guru, dari total 24 jam sehari.

Anak membawa benih kebaikan dalam dirinya, dan anak mengidap rindu menebarkan berkah benih tersebut pada dunia. Maka tugas kita lah bukan untuk membentuk benih itu menjadi satu jenis tanaman yang seragam, tapi agar benih itu tumbuh menjadi berbagai macam kebaikan dan keindahan di muka bumi agar menjadi berkah bagi sesama manusia, sesama makhluk dan sesama penghuni semesta. Bukan kah itu yang kita harapkan?

Berkah untuk semesta.

Berkarya di Sekolah Waldorf

Related Posts:

Bukan Sekadar Matematika

Di Sekolah Waldorf, Matematika bukanlah sekadar belajar mengetahui angka dan berhitung; namun juga proses mengenali dan memahami angka. Matematika menjadi sebuah media pembelajaran mengenal dunia luar (alam) melalui diri. Menurut Steiner, ada dua indra utama yang diperlukan dalam belajar Matematika, yaitu Indra Gerak dan Keseimbangan. Melalui dua indra inilah, pelajaran Matematika dipelajari.

Selain itu, pelajaran yang dilakukan bersamaan dengan teman-teman yang lain (dalam sebuah lingkaran), menjadikan mereka sekaligus belajar empati, kerjasama, dan kepedulian. Tentunya jika seluruh tubuh ikut belajar, proses belajar tidak lagi mengendap di pikiran, namun juga rasa dan karsanya. Yang demikianlah, yang sesungguhnya adalah pembelajaran yang holistik.


Contoh penyajian pelajaran matematika  di Sekolah Waldorf


Catatan singkat ini dibuat oleh Yasmin Kartikasari (Pegiat Komunitas Belajar Arunika Waldorf) 

Related Posts:

Berkarya Di Atas Papan Tulis Hitam

Salah satu hal yang menarik dan menjadi pembeda Sekolah Waldorf dengan sekolah lain di kota adalah penggunaan blackboard atau papan tulis hitam (berwarna dasar hitam). Jangan dulu lihat masa lalu di kampung yang SD-nya menggunakan Papan Tulis Warna Hitam juga karena sama warna papan tulisnya. 

Nah, bukan tanpa alasan di Sekolah Waldorf selalu menggunakan papan tulis warna hitam ini. Selain alasan filosofis juga untuk mengejar sisi keindahan, estetis. Dengan warna hitam, warna lain bisa muncul termasuk warna putih. Bandingkan jika menggunakan papan warna putih maka untuk mengejar warna putih akan sulit. 

Di Bandung Waldorf Grade School Teacher Training yang lalu, kami diantar untuk mengenal dasar-dasar menggunakan papan tulis hitam dengan baik.

Blackboard Drawing

Menulis di atas papan tulis hitam



Selalu ada hal yang baru



Karena belajar di Sekolah Waldorf itu asyik, menarik, dan menyenangkan 



Related Posts:

Perkalian Menjadi Asyik di Sekolah Waldorf

The student of mathematics must get rid of all arbitrary thinking and follow purely the demands of thought. In thinking in this way, the laws of the spiritual world flow into him. This regulated thinking leads to the most spiritual truths.” (Rudolf Steiner)

Ada satu hal yang dulu sangat berat untuk dihapal, perkalian. Selain rumit, perkalian itu matematika. Pokoknya ketika berhubungan dengan matematika, rasanya menghapal itu sebuah hal yang berat. 
Dahulu saya tidak tahu alasan harus menghapal selain bisa menjawab perkalian. Menghapal perkalian bukan menghapal IPA atau IPS atau PMP. Di luar matematika, saya masih senang menghapalkan. 
Dulu, saya tidak suka menghapal karena beralasan hal itu terlalu dangkal untuk belajar. Menghapal bukan menganalisis, bukan juga mengikat makna. Menghapal hanya sekedar mengingat.
Tetapi sekarang saya tahu makna dibalik menghapal terutama matematika. Dalam matematika, operasi hitung itu sudah menjadi keseharian. Semua akan bermuara di penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Nah, hapal perkalian akan memudahkan analisis selanjutnya. Itu berarti menghapal menjadi penting untuk diperhatikan.

Perkalian menjadi asyik (iden)

Masalahnya sekarang adalah mencari pola-pola menghapal yang menyenangkan dan mengasyikan. Misalnya menghapal dengan lagu-lagu. Biasanya yang dibawakan dalam nyanyian akan teringat terus. Selain itu, saya coba mencari literatur tentang menghapal dan pola perkalian yang diajarkan di Sekolah Waldorf. Muncullah beberapa pola yang menarik.
Pertama permainan mengingat bilangan loncat atau kelipatan bilangan. Misalnya kelipatan dua, tiga, dan seterusnya. Sambil bermain sambil mengingat pola kelipatan atau pola loncatnya bilangan ke bilangan selanjutnya.
Kedua, dengan bentuk pola. Polanya seperti bintang, mandala, dll. Caranya dengan menghubungkan setiap angka dengan angka yang lainnya sesuai kelipatannya. Misalnya dari perkalian 2 akan terhubung mulai dari 0, 2, 4, 6, 8, dan 0. 0 yang kedua nilainya jadi 10, 2 yang kedua nilainya jadi 12, demikian seterusnya sampai kembali ke 0 ketiga yang nilainya 20. Cara ini sangat mengasyikan karena anak akan mengingat pola bukan sekedar mengingat hasil angka perkalian saja.


*Perkalian Menjadi Asyik di Sekolah Waldorf adalah catatan Iden Wildensyah. Bisa dilihat juga disini dan juga di www.iden.web.id

Related Posts: