Sejarah Singkat Sekolah Waldorf

Rudolf Steiner, lahir tanggal, 27 Februari 1861, Donji Kraljevec Croatia. Seorang ilmuwan dan filsuf. Salah satu teori Steiner yang terkenal adalah bahwa manusia memiliki kebijaksanaan yang melekat untuk mengungkap misteri dunia spiritual. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran Steiner mengembangkan model pendidikan yang berfokus pada pengembangan totalitas, yaitu pengembangan kreatifitas.
Steiner percaya bahwa 7 tahun pertama kehidupan anak adalah periode belajar meniru berbasis sensorik. Masa itu juga digunakan untuk mengembangkan kemampuan non-kognitif anak. Untuk itu anak-anak usia dini di Sekolah Waldorf didorong untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan mereka bukannya diajarkan konten akademik. Teori pendidikan Steiner biasa disebut Waldorf, istilah “waldorf” digunakan bergantian dengan Steiner. Menggambarkan sekolah dengan kurikulum berdasarkan ajaran Steiner yang telah dijelaskan.

Suasana Belajar Dalam Kelas di Sekolah Waldorf

Pendekatan Waldorf
Waldorf berasal dari Jerman dan telah menyebar ke seluruh dunia. Banyak yang tertarik dengan pendekatan ini karena mereka melihatnya sebagai sebuah alternatif untuk pendidikan tradisional dan sebagai inspirasi untuk memperbaiki pendidikan. Model pembelajar Waldorf bertujuan untuk meningkatkan lingkungan pembelajaran yang sehat, tidak tergesa-gesa sesuai perkembangan bagi anak-anak.

Pendidikan anak usia dini Waldorf telah diterapkan pada berbagai tempat pelayanan termasuk rumah dan tempat penitipan anak. Program dukungan orang tua, dan program-program taman kanak-kanak dan berbagai usia bagi anak-anak 3-7 tahun. Pendekatan ini dibuat oleh Rudolf Steiner (1861-1925).
Sekolah Waldorf di sebagian tempat dikenal sebagai Sekolah Steiner, yang diambil dari nama Rudolf Steiner. Sedangkan nama sekolah Waldorf diambil dari nama sekolah pertama yang didirikan dan dikembangkan Rudolf Steiner. Sekolah itu dibangun di Kota Stutgart Jerman tahun 1919 sekolah tersebut dibangun untuk mendidik anak-anak pekerja pabrik.

Sekolah Waldorf bertambah hingga tahun 2011, sudah ada 1.003 sekolah Waldorf di 60 negara, serta lebih dari 2000 pendidikan anak usia dini. Sekolah-sekolah tersebut menerapkan model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner.

Model pembelajaran Waldorf bertujuan untuk meningkatkan lingkungan pembelajaran yang sehat, tidak tergesa-gesa, sesuai dengan perkembangan bagi anak – anak. Pendidikan anak usia dini (ECE) Waldorf telah diterapkan pada berbagai tempat pelayanan termasuk rumah dan pengasuhan anak pusat, kelompok orang tua dan anak, program dukungan orang tua, dan program-program taman kanak-kanak dan berbagai usia bagi anak-anak berusia 3 hingga 7 tahun.





Related Posts:

Warna Dan Karakter Yang Muncul

Menggambar di sekolah adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan. Menambahkan gambar dalam setiap catatan membuatnya terlihat menarik. di Sekolah Waldorf, menggambar bahkan ada pelatihan untuk gurunya. Di sekolah tersebut bahkan ada semacam buku tutorialnya. Judul buku  tersebut adalah Painting and Drawing In Waldorf School. Hal ini menunjukan begitu pentingnya menggambar dalam sebuah aktivitas pendidikan di sekolah. Kekhasan gambar di Sekolah Waldof adalah warna yang menarik serta ketiadaan garis tepi atau outline. Bandingkan dengan gambar pada umumnya. Bahkan sayapun masih suka menggambar dengan outline. Mereka dilatih menggambar tanpa outline sejak tahapan dini.

Dalam menggambar ada salah satu aspek yang juga sama pentingnya yaitu warna. Bandingkan sebuah karya gambar yang berwarna dengan gambar yang tidak berwarna. Tentu akan memberikan perasaan yang berbeda pada setiap karya yang berwarna. Saya selalu mengarahkan anak untuk mewarnai karyanya terutama karya gambar. Jika tidak diarahkan, beberapa anak biasanya memilih warna yang praktis, mudah, dan cepat.  Ada kesan yang penting berwarna, masalah banyak atau tidaknya terserah guru. Tentang ini, saya mengelompokan anak-anak dalam beberapa kategori berdasarkan cara berkaryanya. Si praktis dan si perfect. Si perfect akan memilih warna dengan durasi waktu yang lama. Ia akan memikirkan banyak hal tentang pilihan warnanya. Pekerjaanya biasanya lambat karena ia sibuk memilih warna di awal. Sementara si praktis, cenderung cepat menentukan tetapi keinginannya untuk cepat beres membuat karyanya terlihat tidak maksimal.

Di Sekolah Waldorf tidak ada outline

Dari pilihan warna, kita bisa mengidentifikasi anak. Kecenderungan anak dalam memilih warna-warna yang dominan dalam karyanya menggambarkan secara tidak langsung kepribadiannya. Misalnya anak yang menyukai warna hitam. Anak yang menyukai warna hitam cenderung punya pemikiran yang konservatif. (konservatif berasal dari bahasa latin com servare, yg artinya "melindungi dari kerusakan/kerugian) dan sangat tahu apa kelebihan diri mereka(agak kepedean sih). Warna hitam juga cenderung membuat mereka ingin tampil percaya diri.
Anak yang menyukai warna hitam atau putih biasanya memiliki sifat yang bersahaja, imajinatif, petualang, bersemangat, antusias dan periang. Biasanya orang yang menyukai warna ini menganggap hidup hanyalah sebagai permainan. Ia menyukai hal-hal yang menyenangkan dan menantang, senang bekerja untuk membantu orang lain karena hal ini merupakan suatu petualangan dan kebahagiaan bagi dirinya.
Warna lainnya misalnya pink. Warna ini cenderung dikenal sebagai warna feminin (lebih kepada sifat kewanitaan). Warna ini menyembunyikan kepribadian yang misterius, bukan misterius yang berbau mistis tapi lebih kepada sesuatu yang jarang orang lain tahu. Jadi, tak benar jika seseorang yang menyukai warna pink adalah sosok yang sangat girly, bisa jadi ia pandai memainkan gayanya. Orang yang menyukai warna ini memiliki sifat yang romantis, hangat, suka membantu, penyayang dan mempunyai kesederhanaan spiritual . Jika pink adalah warna kesukaan Anda, biasanya Anda menganggap orang-orang yang peduli dengan Anda sebagai sesuatu yang paling berharga yang pernah Anda miliki. Anda membutuhkan kedekatan, aturan yang fleksibel, menyukai adaptasi dan perubahan. Anda benar-benar suka dengan keromantisan, pelukan, serta komunikasi. Demikianlah penjelasan dari Paulus Darby tentang Mengetahui sifat seseorang dari warna kesukaannya. Semoga apa yang telah dihadirkan oleh Aura pesona kali ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan untuk hal yang positif.
Memilih warna merah menunjukan sosok anak yang cerdas, berani dan vokal! Mereka sangat suka berada di tengah banyak orang dan menjadi pusat perhatian. Mereka juga suka berpetualang dan tak suka ditentang.
Penggemar warna merah biasanya adalah orang yang tegas, memiliki kepribadian yang cemerlang, kepemimpinan yang kuat, punya semangat yang tinggi, jiwa sosialnya tinggi dan menyukai koneksi dengan banyak orang. Orang yang menyukai warna merah adalah type yang senang dengan kesibukan yang membutuhkan energi yang tinggi seperti berbicara, presentasi, dan membuat koneksi baru.
Sementara itu untuk anak yang menyukai warna biru, seperti kesan yang didapat dari kejernihan warnanya, Mereka yang menyukai warna biru adalah sosok penyayang dan berjiwa bebas. Mereka percaya bahwa kecantikan dari dalam dirilah yang membuat mereka cantik seutuhnya. Seperti air yang mengalir, energinya surut dan naik, melihat perubahan untuk melakukan suatu gerakan. Orang yang menyukai warna biru biasanya dapat di andalkan untuk memecahkan suatu masalah.
Warna oranye menunjukkan seseorang adalah orang yang tulus, menikmati tantangan dan hal-hal baru. Mereka juga punya ambisi besar serta senang menjadi pusat perhatian. Memang ngga banyak sih arti kata dari warna orange ini tapi kalau ditela'ahi punya ambisi besar pasti selalu ingin mencoba hal-hal yang baru dan tidak mudah menyerah untuk selalu mencoba.

Bagi anak yang suka warna kuning, biasanya ia anak yang optimis (orang yang selalu berpengharapan baik dalam mengenai segala hal) suka akan tantangan dan kegiatan di luar ruangan. Penyuka warna kuning juga adalah anak yang fleksibel dan punya intuisi yang kuat.
Warna putih dikatakan sebagai warna netral, dan demikian pula dengan yang memfavoritkan warna satu ini. Mereka Cenderung pecinta damai dan tak suka memihak. Selain itu juga termasuk orang yang tenang dan mudah berteman dengan siapa saja.
Untuk pecinta hijau, maka tak salah lagi, Kalian adalah sosok pecinta lingkungan. Sekalipun mungkin bukan orang yang terjun di dalam organisasi pecinta lingkungan, namun kalian berusaha menjaga lingkungan sekitarnya. Ia juga anak yang keras kepala, namun sekaligus teman yang menyenangkan. Dewasa, berambisi, punya semangat hidup yang tinggi, menyukai sesuatu yang nyata, kehidupan sehari-hari, karir, perubahan, seringkali dikaitkan dengan selera, nilai-nilai dan keyakinan yang tradisional. Jika hijau adalah warna favoritnya, ini melambangkan kedewasaan dan ambisi. Ia mampu bergerak dengan cepat, menganggap kehidupan sebagai tangga dan ia dapat mendakinya dengan cepat. Ia memiliki kekuatan perasaan yang bisa mengontrol apa saja yang ada di sekitarnya.

Pilihan anak terhadap warna dominannya dalam setiap karya tidak bisa dipaksakan oleh gurunya. Ia mengalir begitu saja. Biasanya saya hanya memberikan saran dan arahan untuk menambahkan sisi-sisi lainnya dari warna yang lain. Berharap anak mampu memadukan warna lainnya dalam sebuah karya. Kan tidak menarik jika anak hanya berkarya dengan satu warna saja sementara yang lainnya mampu memadukan semua warna dengan baik.


catatan Iden Wildensyah lainnya bisa dilihat di www.iden.web.id

Related Posts:

Mendongeng Sebagai Proses Pendidikan

"Storytelling reveals meaning without committing the error of defining it" -Hannah Arendt-

Sudah lama saya menggunakan media mendongeng sebagai bagian dari pembelajaran menarik. Dongeng adalah cerita yang disampaikan secara turun temurun. Dalam dongeng terdapat banyak petuah-petuah dari orangtua yang disampaikan melalui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Dongeng adalah sebuah hiburan yang selalu dinantikan pada zaman dahulu. Biasanya dilakukan menjelang tidur. Seorang tua duduk di tengah-tengah kemudian dilingkari oleh generasi muda. Mereka adalah anak-anak usia sekolah yang selalu disuruh orangtuanya untuk mendengarkan dongeng dan kisah-kisah yang akan disampaikan oleh pendongengnya.

Mendongeng dilakukan sejak dulu oleh orangtua

Di rumah, orangtua biasanya akan mendongeng untuk anak-anaknya sebelum tidur. Setelah maghrib kemudian berkumpul di ruang tengah dan mulailah mendengarkan cerita-cerita yang menarik. Ada yang diikuti dengan makanan ringan dan minuman penghangat. Seperti kacang tanah, ubi, goreng singkong, dan lain-lain.

Dongeng-dongeng yang dituturkan beragam mulai dari kisah kebajikan sampai legenda-legenda. Tokoh-tokohnya seperti hewan atau manusia yang ada pada masa lampau. Hewan-hewan akan diceritakan dengan jenaka dan sesekali mengundang tawa anak-anak. Tetapi sesekali juga akan membawa kisah tragis. Pendongeng biasanya jarang memberikan nasehat-nasehat setelah mendongeng. Ia akan memberikan seutuhnya kepada pendengarnya untuk mengambil makna dan pelajaran dari dongeng yang sudah dituturkannya.

Di kelas, saya juga meneruskan tradisi dongeng ini. Biasanya saya ambil dari buku kumpulan dongen yang dikumpulkan oleh Grimm Brother dan juga buku-buku lainnya yang mendukung terutama untuk dongeng bahasa Sunda seperti dongeng sakadang kuya dan sakadang kancil. ada juga buku Pamekar Basa yang menceritakan kisah seorang anak kelas 3 bersama keluarganya di kampung. Di buku itu, ada kisah-kisah dongeng sunda-nya.

Seperti kata Hannah Arendt "Storytelling reveals meaning without committing the error of defining it"  Yah memilih dongeng sebagai salah satu alternatif pembelajaran karena dalam dongeng ada banyak makna yang menarik untuk menjadi pembelajaran tanpa merasa sedang belajar, diceramahi tanpa merasa diceramahi, disalahkan tanpa merasa disalahkan. Khusus untuk kesalahan tentu diceritakan untuk dihindari dan dicari solusinya oleh pendengar tanpa intervensi pendongengnya.

Sampai hari ini, bagi saya mendongeng dan mendengarkan dongeng menjadi sesuatu yang menyenangkan.


Catatan Iden Wildensyah lainnya bisa dilihat di www.iden.web.id

Related Posts:

Pendidikan Alternatif

"Pendidikan bukan cuma urusan memperbanyak isi memori otak atau mencari tahu sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Namun lebih dari itu adalah upaya menghubungkan semua yang sudah diketahui dengan hal-hal yang masih menjadi misteri" (Anatole France, 1817-1895 pemenang Nobel Sastra, Prancis)

Beberapa hari ini blogpost saya berbicara seputar pendidikan alternatif yang diusung oleh sekolah-sekolah alternatif yang ada di Kota Bandung. Saya menaruh hormat dan apresiasi yang besar untuk setiap sekolah alternatif yang sudah mengembangkan metode pendekatan belajar yang manusiawi.
Salah satu bentuk pembelajaran di Sekolah Alternatif

Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.

Pemikiran tentang pendidikan alternatif ini bermula dari kritik-kritik Romo Mangun terhadap bentuk pendidikan yang sejak berlakunya kurikulum 1974, berkembang hingga kurikulum 1994.

Pendidikan alternatif tidak diartikan sebagai pengganti sekolah formal, melainkan mencari materi dan metode dedaktik baru sampai kurikulum baru. Menurut Nunuk Murniati, pendidikan seharusnya bersifat kontekstual, harus disesuaikan dengan lingkungan. Pendidikan untuk kaum marjinal pun demikian. Dimana konsep link and macth yang digembar-gemborkan oleh pemerintah orde baru dalam pendidikan hanya menghasilkan sekrup-sekrup kapitalis yang dibuat hanya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam mesin industri.

Menurut Jery Mintz (1994:xi) Pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:

sekolah publik pilihan (public choice);
sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);
sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan
pendidikan di rumah (homeschooling).


Woodworking di Sekolah Waldorf
Bentuk pendidikan alternatif tertua yang dikelola masyarakat untuk masyarakat adalah pesantren. Diperkirakan dimulai pada abad 15, kali pertama dikembangkan oleh Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Kemudian muncul pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.

Selain pesantren, Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Selain Taman Siswa, Mohammad Syafei membuka sekolah di Kayutaman. Sekolah dengan semboyan, “Carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Siswa diberi keterampilan untuk membuat sendiri meja dan kursi yang digunakan bagi mereka belajar. Namun Belanda telah membumihanguskan sekolah tersebut.

Semangat Alternatif
Walaupun jarak yang jauh sejak Taman Siswa dan Sekolah Kayutaman, kini sekolah-sekolah alternatif semakin tumbuh subur di kota-kota besar di Indonesia. Hal yang patut kita banggakan karena masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan kesempatan belajar yang lebih baik untuk anak-anaknya. Nah, semangat memberikan pendekatan pendidikan yang lebih manusiawi adalah hal yang saya pikirkan. Pendidikan alternatif bisa menjadi bagian yang menarik untuk membangun sumber daya manusia Indonesia di masa depan yang lebih baik.



Mengolah tanah untuk pertanian di sekolah
Sekolah alternatif terbukti mampu memberikan dimensi lain dalam dunia pendidikan Indonesia. Sekolah alternatif berani keluar dari pakem-pakem pembelajaran yang begitu-begitu saja. Anak pasif dan guru ceramah seharian. Walaupun semangat ini juga sudah hadir dalam perencanaan pendidikan di kurikulum tetapi kenyataannya jauh panggang dari api.

Sekolah-sekolah yang konvensional masih kesulitan menerapkan hal-hal yang menarik dalam menyampaikan pembelajarannya. Alokasi dana pelatihan sudah dikeluarkan banyak sekali tetapi alih-alih memperbaiki sistem pendidikan yang ada hanya pemborosan  anggaran. Guru di kelas akan kembali mengambil jalan teraman, cari di internet, copy paste kemudian sebarkan di kelas. Lebih parah lagi, jual LKS kemudian suruh anak mengerjakan sendiri dan guru tinggal ongkang-ongkang kaki dengan santainya sambil menghembuskan asap rokok yang dihisapnya. Sebuah potret buruk pendidikan yang sudah sangat akut.

Sementara di sekolah-sekolah alternatif, guru berjibaku mencari bentuk-bentuk menarik dalam menghantarkan pembelajaran yang menarik dan mudah dipahami oleh anak-anak lewat berbagai macam kegiatan yang variatif. Guru mengolah semua materi berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi inti untuk disampaikan kepada anak didiknya.
Nah semangat berpikir kreatif dalam pendidikan alternatif inilah yang ingin saya bagikan untuk semua. Pendidikan yang kreatif, pendidikan yang menyenangkan, mendidik kreatif adalah semangat yang harus muncul dalam setiap diri pendidik di seluruh Indonesia. Semoga saja semakin banyak sekolah-sekolah alternatif yang mampu memberikan kontribusi positif dalam membangun manusia Indonesia yang merdeka, mandiri, kreatif, dan berdaya!

Catatan Iden Wildensyah lainnya bisa dilihat di www.iden.web.id

Related Posts:

Mengunjungi Sekolah Waldorf di Thailand

Sekolah ini adalah salah satu sekolah yang menginspirasi saya selama bergiat. Banyak inspirasi mendidik yang saya ambil referensinya dari sekolah ini.Sekolah Waldorf menjadi pilihan para petinggi perusahaan teknologi di Silicon Valley.
Pendidikan Waldorf dikenal pula sebagai Pendidikan Steiner. Sistem ini dikembangkan oleh Rudolf Steiner dari Austria. Pendidikan di Sekolah Waldorf mementingkan imajinasi dan kreativitas dalam pembelajaran. Misi sekolah ini adalah mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang merdeka, utuh, dan memiliki tanggung jawab sosial. Guru dipandang memiliki tugas suci membantu perkembangan jiwa dan rasa anak-anak. Setiap anak dibantu agar mereka bisa mencapai yang terbaik sesuai potensi masing-masing.
Sejarah Sekolah Waldorf
Sekolah Waldorf di sebagian tempat dikenal pula sebagai Sekolah Steiner, yang diambil dari nama Rudolf Steiner. Sedangkan nama Sekolah Waldorf, diambil dari nama sekolah pertama yang didirikan dan dikembangkan Rudolf Steiner. Sekolah itu dibangun di Kota Stutgart, Jerman, tahun 1919. Sekolah itu dibangun untuk mendidik anak-anak pekerja pabrik Waldorf-Astoria. Nama Sekolah Waldorf kemudian menjadi trademark.
Sekolah Waldorf terus bertambah. Hingga tahun 2011, sudah ada 1.003 Sekolah Waldorf di 60 negara. Serta, ada lebih dari 2.000 pendidikan anak usia dini, 629 institusi untuk sekolah rumah, dan sekolah luar biasa di seluruh dunia. Sekolah-sekolah itu merupakan sekolah independen, namaun menerapkan model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner.
Teori Perkembangan Anak Menurut Rudolf Steiner
Dalam prosesnya, pendidikan di Sekolah Waldorf sangat menekankan pentingnya pendidikan berdasarkan jenjang usia. Berikut ini tahap-tahap pembelajaran dalam sistem pendidikan Rudolf Steiner.
Pada masa awal kanak-kanak, pembelajaran  lebih banyak didasarkan kepada pengalaman, peniruan, dan berbasis indra. Pembelajaran pun lebih banyak menggunakan kegiatan-kegiatan praktis.
Pada masa usia sekolah dasar, pembelajaran bersifat artistik dan imajinatif. Pada tahap ini, pendekatan yang digunakan adalah membangun kehidupan emosional anak. Juga, mengembangkan ekspresi seni anak melalui serangkaian seni pertunjukan dan seni rupa.
Pada masa remaja, pembelajaran ditekankan pada pengembangan pemahaman intelektual, juga gagasan-gagasan mulia seperti tanggung jawab sosial.
Sistem Pendidikan di Sekolah Waldorf
Memupuk Kreativitas
Pembelajaran di tingkat SD ditekankan kepada pemupukan daya imajinasi dan kreativitas anak. Perkembangan emosi anak mendapat perhatian besar. Anak-anak mendapatkan banyak ruang untuk berekspresi melalui berbagai bidang seni seperti seni drama, seni musik, seni rupa, hingga seni suara. Untuk memupuk kreativitas, segala hal yang dipandang menghambat kreativitas anak akan dijauhkan. Bukan hanya komputer, tetapi juga televisi serta rekaman musik. Aktivitas di luar ruangan serta gerak badan juga sangat dipentingkan.
2.      Keterampilan Diutamakan
Keterampilan tangan para murid juga sangat diutamakan dalam pembelajaran ini. Misalnya merajut, membuat keramik, menjahit dengan tangan, dan sebagainya. Bahkan, pelajaran keterampilan masuk kurikulum sekolah. Mereka meyakini, keterampilan tangan dapat melatih koordinasi antara mata dengan tangan. Juga belajar untuk fokus dalam sebuah proses sejak membuat konsep hingga tahap penyelesaian.

3.      Cinta Bahasa Sebelum Bisa Membaca
Salah satu keunikan lainnya adalah sebelum anak-anak bisa membaca, para guru lebih dulu menumbuhkan kecintaan akan bahasa. Hal itu dibangun melalui bahasa lisan, nyanyian, puisi, serta permainan. Termasuk saat guru mendongeng, anak-anak akan menyimak dan belajar menjadi pendengar yang baik.
Selain bahasa ibu, anak-anak diajarkan pula dua bahasa asing di tingkat dasar. Untuk sekolah berbahasa Inggris, bahasa asing yang diajarkan adalah bahasa Jerman dan bahasa Prancis atau Spanyol.

4.      Keterampilan Bersosialisasi
Murid-murid juga diajarkan mengenai pentingnya memiliki rasa tanggung jawab sosial, rasa hormat, dan kasih sayang, serta kemampuan bekerja sama. Diajarkan pula mengenal perbedaan. Seperti di Afrika Selatan, saat politik apartheid masih diberlakukan. Sekolah Waldorf justru memiliki murid warga kulit hitam maupun kulit putih. UNESCO memiliki peran menyiapkan masyarakat untuk memasuki era komunitas baru yang menyatu.

Penulis di Sekolah Waldorf di Thailand


Sekolah Waldorf di Thailand

Saya bersyukur punya kesempatan mengunjungi Sekolah Waldorf di Asia Tenggara yaitu Thailand. Dua Sekolah Waldorf yang saya kunjungi adalah Tripat Waldorf School dan Panyotai Waldorf School
Inilah sedikit catatan saya waktu mengungjungi kedua sekolah tersebut.
Salah satu hal yang menarik dari sekolah ini adalah penggunaan kapur dan bentuk papan tulis yang tidak konvensional. Bentuknya sangat artistik bisa dibuka tutup yang memungkinkan anak-anak untuk menyerap materi dengan penuh kejutan-kejutan menarik dari gurunya. Setiap bagian dalam papan tulis memiliki arti dan gambar tersendiri. Yang patut diacungi jempol dari setiap ruangan dan papan tulis yang saya lihat adalah kreativitas guru-gurunya dalam menampilkan gambar dan materi yang menarik. Tidak rata-rata, tentu saja.
Para guru membuat dengan kesungguhan dan cita rasa seni yang tinggi. Seperti menggambar salah satu adegan dongeng yang menjadi pengantar untuk belajar anak-anak, membuat komposisi warna pada pelajaran matematika dan pengenalan bidang datar, dll. Sangat artistik dan terlihat bahwa seni adalah bagian tak terpisahkan dari mengajar apapun. Inspirasi semangat ini yang perlu ditiru, saya senang melihat dan merasakan secara langsung energi yang positif dalam menghantarkan pembelajaran untuk anak-anak.
Di kedua sekolah yang saya datangi, saya juga merasakan bahwa berkarya adalah keseharian mereka dan mereka sangat menikmati saat-saat berkarya, saat merancang, dan saat mengerjakannya. Berkarya adalah bagian pembelajaran yang menyenangkan dan menaik.
Dalam berkarya, anak-anak membuat karya individu dan kelompok. Berkarya bisa menjadi proyek yang berdaya guna. Hasil karyanya bisa digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Baik karya kelompok atau juga karya individu, misalnya merajut untuk membuat wadah dekoder. Lebih dalam lagi, merajut adalah bagian dari keterampilan untuk membuat pakaian. Dalam membuat proyek, anak-anak berkarya sesuai jenjangnya. Anak-anak yang lebih besar dengan kemampuan fisik dan motorik kasarnya yang sudah terasah mampu membuat proyek yang besar untuk digunakan anak-anak jenjang kecil. Misalnya membuat rangka kayu untuk permainan, rumah-rumahan dari kayu, dsb.

Dalam berkarya selanjutnya bisa disebut sebagai bagian dari proyek kelas.Proyek yang selalu melibatkan anak-anak dan guru sebagai fasilitator. Pada sekolah yang saya datangi, salah satu proyek besarnya adalah pembuatan ruangan untuk berkarya dengan bahan kayu. Mulai dari meratakan tanah, membuat tiang-tiang penanda, dan membuat pondasi, semua dikerjakan bersama-sama oleh guru dan anak-anak. Anak-anak adalah pemeran utama dalam proyek ini, guru sebagai fasilitator mengarahkan dan membimbing anak-anak untuk bisa menjalankan proyeknya dengan baik.
Mari kita lihat juga proyek di jenjang kelas 2, di sini saya melihat sebuah anyaman dari benang berwarna-warni. Salah seorang guru yang saya temui merendah ketika ditanya itu proyek spektakuler untuk anak-anak kelas 2. “Yah, tapi gak tahu kapan selesainya” kata dia sambil bercanda. Proyek ini dikerjakan setelah mengerjakan pekerjaan rutin sekolah lainnya misalnya mengerjakan lembaran kerja matematika. Tiap anak yang berhasil duluan, boleh mengambil satu benang kemudian disulam dengan cara mengikuti pola yang sudah ada sebelumnya. Proyek ini selain mengajarkan ketekunan, kerapihan, dan ketepatan mengikuti pola juga mengajarkan kreativitas dalam mengolah bahan benang. Anak-anak yang mengerjakan proyek itu sangat menikmati prosesnya, mereka belajar untuk tenang dan mampu mengerjakan sesuai instruksi tanpa harus terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya.


Sebagian sumber artikel ini diambil dari Koran Berani, 15 November 2011.
Artikel ini ditulis oleh Iden Wildensyah. Catatan lainnya bisa dilihat di www.iden.web.id

Related Posts:

Mengenal Sekolah Waldorf

Artikel ini menjadi trending topic dan saya ingin membaginya juga di sini. Artikel aslinya bisa dilihat disini. Beredar dari satu group ke group lainnya dan Sekolah Waldorf menjadi terkenal. Banyak orang penasaran dengan konsep Sekolah Waldorf ini.

Di Indonesia kini mulai bermunculan secara meyakinkan satu persatu tumbuh. Sebut saja di Yogyakarta, di Jakarta, dan di Bandung. Penggerak sekolah waldorf rata-rata mereka yang sudah pernah mengetahui sebelumnya tentang filosofi pendidikan Waldorf lewat studygroup atau sengaja mengikuti Teacher Training selama rentang waktu tertentu kemudian menginisiasi sekolah waldorf di Indonesia.
Kehadiran sekolah alternatif seperti sekolah waldorf ini sangat penting untuk Indonesia. Memberikan semacam penyegaran atas metode konvensional yang sudah terlalu lama mengakar dalam sistem pendidikan Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu artikel yang menarik dan membuat banyak penasaran orang untuk membacanya.

Suasana Pembelajaran di Sekolah Waldorf

SAAT ANAK ATAU ADIKMU MAIN IPAD, ANAK-ANAK BOS GOOGLE DAN APPLE ASYIK MAIN TANAH DI SEKOLAH

Di Indonesia, mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah salah satu muatan lokal yang umum ditemui. Banyak juga sekolah yang mengizinkan murid-muridnya membawa laptop untuk kepentingan mencatat atau browsing informasi saat di kelas. Selesai sekolah, anak-anak ini pun bukannya pulang ke rumah untuk istirahat; mereka justru kembali akrab dengan iPad atau game konsol mereka dengan alasan refreshing setelah seharian belajar. Saking sudah umumnya, sebagian dari kita mungkin menganggap fenomena ini sah-sah saja.

Tapi tunggu! Mari sejenak jalan-jalan ke Silicon Valley, sebuah kawasan di Amerika dimana perusahaan-perusahaan teknologi top dunia berkantor. Di tempat ini terdapat fakta yang akan membuat kita berpikir ulang,

“Apakah keputusan mengenalkan komputer pada anak sejak usia dini itu tepat?”Para petinggi Google, Apple, Yahoo, HP hingga eBay mengirim anak-anaknya ke sekolah yang sama sekali tak punya komputer

Ketika sekolah-sekolah lain memasukkan komputer dalam kurikulum dan berlomba membangun sekolah digital, Waldorf School of the Peninsula justru melakukan sebaliknya. Sekolah ini dengan sengaja menjauhkan anak-anak dari perangkat komputer.Sekolah Waldorf justru fokus pada aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan ketrampilan tangan para murid. Anak-anak tak diajarkan mengenal perangkat tablet atau laptop. Mereka biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut dan lem perekat ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah selesai pelajaran olahraga. Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer justru akan menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dengan manusia, hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran. Para petinggi di dunia IT ini membela keputusan sekolah Waldorf untuk tak memperkenalkan komputer ke anak-anak mereka.

Banyak yang menganggap bahwa kebijakan yang dibuat Waldorf itu keliru. Meski metode pembelajaran yang mereka gunakan sudah berusia lebih dari satu abad, perdebatan soal penggunaan komputer dalam proses belajar-mengajar masih terus berlanjut.Menurut para pendidik dan orangtua murid di Sekolah Waldorf, sekolah dasar yang baik justru harus menghindarkan murid-muridnya dari komputer. Ini disetujui oleh Alan Eagle (50), yang menyekolahkan anaknya Andie di Waldorf School of the Peninsula:

“Anak saya baik-baik saja, meskipun] tak tahu bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekarang di kelas dua SMP, juga baru saja dikenalkan pada komputer,” tutur Eagle, yang bekerja untuk Google.
Eagle tak mempermasalahkan ironi antara statusnya sebagai staf ahli di Google dan kondisi anak-anaknya yang gaptek.
“Misalkan saja saya seorang sutradara yang baru menelurkan sebuah film dewasa. Meski film itu didaulat sebagai film terbaik yang pernah ada di dunia sekalipun, saya toh tak akan membiarkan anak-anak saya menonton film itu kalau umur mereka belum 17 tahun.”Tanpa perangkat komputer atau kabel, kelas-kelas di Waldorf punya tampilan klasik dengan papan tulis dan kapur warna-warni

Sekolah Waldorf tampil dengan gaya ruangan kelas yang klasik. Tak banyak perangkat elektronik, layar-layar komputer, atau kabel-kabel yang menghiasi ruangan. Berhias dinding-dinding kayu, kamu hanya akan menemukan papan tulis penuh coretan kapur warna-warni. Ada rak-rak penuh berbagai jenis ensiklopedia hingga meja-meja kayu dengan tumpukan buku-buku catatan dan pensil.Andie yang duduk di kelas 5 mendapat pelajaran membuat kaos kaki. Ketrampilan merajut dipercaya membantu anak-anak belajar memahami pola dan hitungan. Menggunakan jarum dan benang bisa mengasah kemampuan memecahkan masalah dan belajar koordinasi. Saat pelajaran bahasa di kelas 2, anak-anak akan diajak berdiri melingkar. Mereka diminta mengulang kalimat yang diucapkan guru secara bergiliran. Gilirannya ditentukan dengan melempar penghapus atau bola. Ternyata, metode belajar ini bisa jadi salah satu cara untuk mensinkronkan tubuh dan otak.Guru kelas Andie, Cathy Waheed, mengajarkan anak-anak mengenal pecahan dengan metode yang sangat sederhana. Yup, Waheed menggunakan buah apel, kue pai, atau roti yang dipotong-potong lalu dibagikan pada murid-muridnya.

“Saya yakin dengan cara ini mereka bisa lebih mudah mengenal hitungan pecahan,” ujar Waheed, yang merupakan lulusan Ilmu Komputer dan sempat bekerja sebagai teknisiMenurut guru-guru Waldorf, mengajarkan siswa memakai komputer tak akan membuat mereka bertambah pintar. Sampai saat ini belum ada penelitian yang bisa menjelaskan kaitan keduanya.

Selain dari pengajar dan orang tua murid, para ahli pendidikan pun menegaskan:
“Penggunaan komputer di ruang kelas sebenarnya tidak ada alasan ilmiahnya. Sampai saat ini toh belum ada penelitian yang membuktikan bahwa keterampilan menggunakan komputer akan berpengaruh pada nilai tes atau prestasi mereka.”
Nah, apakah belajar hitungan pecahan dengan memotong apel atau merajut jauh lebih baik? Bagi Waldorf, pertanyaan ini sulit dibuktikan. Sebagai sekolah swasta, Waldorf tak berpedoman pada tes-tes dasar yang serupa dengan sekolah-sekolah lain. Mereka pun memang mengakui bahwa murid-muridnya tak akan dapat nilai setinggi anak-anak sekolah negeri jika diminta mengerjakan soal-soal tes umum. Bukan karena mereka bodoh, namun karena murid-murid Waldorf memang tak dijejali teori-teori matematika dasar sesuai kurikulum.Namun, ketika diminta membuktikan efektivitas pendidikan di Waldorf, Association of Waldorf School di Amerika Utara menayangkan hasil penelitian yang tak main-main:

“94% siswa lulusan SMA Waldorf di Amerika Serikat di antara tahun 1994 sampai 2004 berhasil masuk di berbagai jurusan di kampus-kampus bergengsi seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar.”
Selain faktor minimnya teknologi, kualitas pengajar yang baik di Waldorf juga dinilai berpengaruh pada keberhasilan sekolah tersebut mengirim anak-anaknya ke universitas-universitas bergengsi di Amerika. Waldorf memang tak sembarangan dalam memilih guru. Selain berpendidikan tinggi, mereka harus memiliki jam terbang yang mumpuni. Wajar saja jika Waldorf kemudian berhasil mengembangkan anak didik mereka menjadi hebat dan berprestasi. Kualitas inilah yang kemudian membuat para orangtua percaya pada metode pengajaran Waldorf. Salah satu orangtua tersebut adalah Pierre Laurent (50), pendiri startupyang sebelumnya bekerja di Intel dan Microsoft. Bahkan saking terkesannya dengan metode Waldorf, Monica Laurent, istri Pierre, bergabung menjadi guru di sekolah ini sejak tahun 2006.
Waldorf memegang filosofi bahwa belajar-mengajar bukan perkara sederhana. Ini tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia.

Sebenarnya menurut Waldorf, memilih menggunakan teknologi komputer atau tidak bisa jadi sifatnya subyektif atau perkara pilihan. Terserah saja, menurut kebijakan sekolah masing-masing. Namun yang harus dicatat: ketika anak sudah dibiarkan lekat dengan komputer sejak dini, bisa saja ia akan ketergantungan dan sulit melepaskan gawai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ann Flynn — petinggi National School Boards Association yang membawahi sekolah-sekolah negeri di Amerika — tetap bersikeras bahwa pelajaran komputer itu penting. Sementara Paul Thomas, mantan guru dan profesor pendidikan yang sudah menulis lebih dari 12 buku tentang metode pendidikan publik, lebih setuju pada Waldorf. Baginya, pendekatan yang minim teknologi di dalam kelas justru sangat bermanfaat.
“Mengajar adalah pengalaman manusia. Teknologi justru bisa jadi gangguan ketika mengenal huruf dan angka, belajar hitungan, dan berpikir kritis, “ ungkap Thomas.
Keahlian di bidang IT adalah modal untuk bersaing di dunia kerja. Tapi, haruskah itu menjadi alasan untuk mengenalkan komputer pada anak sejak dini?

“Komputer itu sangat mudah. Kami di Google sengaja membuat perangkat yang ibaratnya bisa digunakan tanpa harus berpikir. Anak-anak toh tetap bisa mempelajari komputer sendiri jika usia mereka sudah dewasa.”– Alan Eagle.

Singkatnya, Eagle menjelaskan bahwa komputer itu mudah dan bisa dipelajari lewat kursus kilat sekalipun. Jadi buat apa “membunuh” kreativitas alami anak dengan memaksa mereka mempelajari komputer sejak dini?Bukan berarti anak-anak di Waldorf dan Silicon Valley sama sekali tak melek teknologi. Siswa-siswa kelas V di Waldorf mengaku sering menghabiskan waktu mereka dengan menonton film di rumah. Seorang siswa yang ayahnya bekerja sebagai teknisi di Apple mengaku sering diminta mencoba game baru ciptaan sang ayah. Sementara seorang murid biasa berkutat dengan flight control system di akhir pekan bersama orang tuanya.Justru anak-anak ini sudah mendapat pengetahuan teknologi dalam porsi yang pas, mengingat kebanyakan orangtua mereka adalah penggiat industri teknologi. Berkat didikan di Waldorf, anak-anak Silicon Valley mengaku tak nyaman saat melihat orang-orang di sekitarnya sibuk dengan gadget mereka.

“Aku lebih suka menulis dengan kertas dan pulpen. Ini membuatku bisa membandingkan tulisanku saat kelas I dengan yang sekarang. Kalau aku menulis di komputer ‘kan… gaya tulisannya sama semua. Dan kalau komputermu tiba-tiba rusak atau mendadak mati listrik, pekerjaanmu jadi tak selesai ‘kan?” ungkap Finn Heilig, yang ayahnya bekerja di Google.
Sekali lagi, metode pendidikan tanpa komputer bukannya bermaksud menutup akses anak untuk mengenal teknologi. Kelak, di usia tertentu mereka tetap punya kesempatan untuk mempelajarinya. Sementara di masa kanak-kanak, mereka berhak mendapat kesempatan menjadi sebenar-benarnya anak-anak. Bagaimana nasib adik-adikmu atau anak-anakmu sendiri kelak? Apakah lebih baik mereka dikenalkan dengan gadget dan perangkat teknologi sejak dini, atau lebih baik menunggu sampai saat yang benar-benar tepat?




Related Posts: