Mengenal Dunia Melalui Bermain Bebas


Mengenal Dunia Melalui Bermain Bebas
Oleh  Bernadia Dwiyani

“We are fully human only while playing, and we play only when we are
human in the truest sense of the word” Rudolf Steiner

Proses bermain merupakan proses yang penting dalam kehidupan manusia. Pada beberapa kesempatan, proses bermain seringkali dianggap sebagai aktivitas hiburan yang membuang waktu. Padahal bermain dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya, tidak hanya bagi manusia bahkan hal yang sama terjadi pada hewan di sekitar kita. Kita dapat melihat bagaimana lumba-lumba, harimau, gajah, bahkan burung banyak menghabiskan waktu untuk bermain.
Johan Huizinga menyatakan bahwa bermain merupakan aktivitas yang mampu memperbaiki kulitas masyarakat secara luas (Nijhof., dkk, 2018). Dalam kaitannya dengan perkembangan manusia, beberapa penelitian menyatakan bahwa bermain dapat meningkatkan kemampuan sosial, emosional, ketahanan diri, krativitas, dan pemecahan masalah. Oleh karena itu bermain menjadi aktivitas penting dalam keseharian manusia.
Pada manusia dewasa kita sering dihadapkan pada tekanan di tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, keluarga, dan lain-lain. Hal ini tidak jauh berbeda dengan anak-anak, pada beberapa situasi perasaan takut, cemas, dan tertekan muncul dan mengganggu mereka. Situasi ini bahkan dapat mengakibatkan pengalaman traumatis bagi anak.
Selanjutnya stimulus berlebihan yang diterima anak dari lingkungan dapat menyebabkan anak cepat lelah dan moody. Sayangnya, kita sebagai orang dewasa seringkali kesulitan menyadari hal tersebut. Bermain selain difungsikan untuk mengeksplorasi lingkungan juga meningkatkan kesejahteraan anak dengan menyeimbangkan perasaan dalam diri.  

“We are fully human only while playing, and we play only when we are
human in the truest sense of the word” Rudolf Steiner

Lalu apa sesungguhnya bermain itu?
Karakteristik bermain dapat dibagi menjadi lima hal yakni, pertama tidak perlu memiliki makna atau fungsi, kedua mengandung beberapa unsur seperti; menyenangkan, spontan, bermanfaat, dan sukarela, ketiga tingkah laku yang dihasilkan berbeda dengan tingkah laku lain, keempat terdapat unsur pengulangan yang variatif, dan terakhir menurunkan tingkat stress (Graham dan Burghardt, 2010).
Bermain berperan positif pada kemampuan anak untuk mengenal diri mereka dan dunia. Perkenalan itu diawali dengan indera yang mereka miliki (mendengar, menyentuh, melihat, merasakan, dan mencium) untuk mengartikan dunia di sekitar mereka. Seperti yang kita ketahui bahwa anak berumur 0-18 bulan senang memasukan segala sesuatu kedalam mulut mereka.
Hal ini di dukung oleh teori psikoanalisa yang menyatakan bahwa pada bayi, mulut merupakan bagian vital yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan. Pada tahapan itu, anak mengembangkan kepercayaan dan kenyamanan akan dunia sekitar. Selain itu mereka senang saat mendengar bunyi, juga mencium seluruh barang di sekitar mereka. Seluruh proses tersebut selain mengembangkan kemampuan anak dalam mendiferensiasi, memberikan pengalaman bermakna, juga meningkatkan kesadaran anak akan lingkungan.
Menurut Parten (1932) selanjutnya anak akan mulai dengan bermain sendiri (solitary play) pada usia 12-18 bulan tanpa membangun interaksi dengan orang lain. Pada usia memasuki 2-2.5 tahun (paralel play)anak akan mulai merasa nyaman bermain berdampingan dengan anak-anak lain, namun belum berinteraksi. Di usia 2.5-3 tahun (associative play)anak akan bermain dengan material yang sama bersama dengan anak lain, tetapi belum menghasilkan kreasi bersama. Bentuk permainan kooperatif (cooperative play) terjadi pada usia 3-5 tahun dimana anak berinteraksi bersama anak lain (Heidman &Hewitt, 1992).
Bermain pada pendidikan Waldorf menjadi suatu hal yang esensial. Proses anak bermain secara bebas akan memampukan imajinasi anak untuk berkembang. Hal ini merupakan pusat dari proses mengembangkan diri secara utuh untuk mencapai potensi diri. Memberikan anak ruang untuk mengeksplorasi imajinasi mereka dan memiliki waktu nyaman bagi diri sendiri. Kebutuhan bermain selayaknya kebutuhan makan dan minum bagi anak.
Salah satu jenis proses bermain yakni bermain tanpa struktur, dimana anak bebas bermain tanpa diawali tujuan dan membuka seluruh kemungkinan permainan yang ada.
Proses bermain bebas sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan sosial, kreativitas dan imajinasi, juga kemampuan menyelesaikan masalah. Tanpa peraturan yang jelas anak dituntut untuk kreatif mengubah arah permainan dan sekaligus meningkatkan kemampuan kognitif. Lalu kemampuan menyelesaikan masalah banyak berperan saat anak mengalami kesulitan pada suatu permainan, apakah anak termotivasi untuk mencari cara penyelesaiannya.
Anak-anak melatih kemampuan sosial dan berempati saat mereka bermain bersama teman-teman, mengembangkan kemampuan bergiliran, mendengarkan, dan berbagi. Bermain bebas sangat ideal diterapkan di alam bebas dengan material yang beragam dan dapat di eksplorasi dengan menyeluruh. Namun, sesungguhnya bermain bebas dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Peran orangtua dalam bermain bebas adalah menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman. Orangtua dapat melakukan pengamatan, dan mengintervensi apabila diperlukan berkaitan dengan keamanan anak. Saat anak bermain, orangtua dapat mengamati anak bermain dan juga tetap melakukan pekerjaan lain yang bermakna. Hal ini akan memberikan perasaan aman dan kepercayaan diri pada anak.
Proses bermain adalah proses anak melihat dan merasakan dunia secara langsung. Melalui proses bermain batangan kayu yang ditemukan di taman dapat berubah menjadi mobil, boneka, makanan, atau bahkan beragam bentuk lainnya. Pada akhirnya bermain merupakan kebutuhan utama bagi pengembangan diri mereka.


Refleksi
Anda dapat mencoba mengingat kapan terakhir kalinya Anda bermain tanpa ada tujuan tertentu? Setelah bermain bebas, bagimana perasaan Anda? Apakah terdapat perubahan secara fisik atau psikis pada diri Anda?

Daftar Pustaka
Chertoff, Jane (2019). The Toddler Years: What is Associative Play. Parenthood. Diakses dari https://www.healthline.com/health/parenting/associative-play#6-stages-of-play
Heidemann, Sandra & Hewitt, Deborah. (1992). The Basics of Play. Readleaf Press. Diakses dari https://reg.abcsignup.com/files/%7B07D0901F-86B6-4CD0-B7A2-908BF5F49EB0%7D_59/playchpaters.pdf
Najoan, Caroline & Manurip, Erika.(2020). Rangkuman Pertemuan Keempat Arunika:  Kelas Pengasuhan Anak Usia Dini Untuk Orangtua Di Rumah.
Nijhoff, Sanne L, dkk.( 2018). Healthy play, better coping: The importance of play for the development of children in health and disease. Neuroscience and Biobehavioral Reviews.  https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2018.09.024. Diakes dari file:///C:/Users/User/Documents/project/waldorf/play%20and%20healthy.pdf


Related Posts:

New Normal dan Penggunaan Gawai Pada Anak

New Normal dan Penggunaan Gawai Pada Anak

oleh Bernadia Dwiyani

Kita memasuki tahapan baru setelah selama beberapa bulan mengharuskan kita berada di rumah. Pintu-pintu dan pos penjagaan perlahan terbuka, lalu lalang manusia kembali memenuhi jalanan, dan sesak asap kendaraan kembali hadir di tengah-tengah kita. Di masa yang disebut “new normal”, ada baiknya kita merefleksikan pada pribadi kita masing-masing, apa yang sesungguhnya definisi normal? Bagaimana cara kita beradaptasi dengan keadaan baru di tengah-tengah masa transisi ini?  Tentunya kita ketahui bahwa beberapa bulan belakangan ini, proses pendidikan berubah secara drastis. Sekolah-sekolah ditutup dan anak-anak diharuskan belajar bersama orangtua di rumah melalui daring atau virtual meeting.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan prioritas bagi pengembangan pendidikan salah satunya melalui pengunaan teknologi. Ia pun menyatakan bahwa teknologi digunakan untuk meningkatkan kapasitas guru sebagai pendidik, bukan untuk menggantikannya (Kemendikbud.go.id, 2019). Online learning dipercaya sebagai solusi untuk kelangsungan proses pembelajaran selama masa PSBB berlangsung. Namun di satu sisi memiliki dampak negatif yang tercipta dari paparan berlebihan baik melalui media televisi, komputer, telpon genggam, maupun tablet.

Yang harus kita kritisi, apakah nantinya di masa “new normal” penggunaan gawai dapat pula dianggap hal yang normal? Penggunaan gawai yang melebihi batas, yang mampu mereduksi kemampuan kognitif, sosial, emosional dan kualitas interaksi anak adalah hal yang normal. Mari kita pahami terlebih dahulu dampak penggunaan gawai secara berlebihan.

Kegiatan Mendongeng


Neurologis

Hasil dari beberapa penelitian menyatakan pengaruh paparan gawai dapat mempengaruhi perkembangan otak manusia khususnya yang terjadi pada anak. Batas aman penggunaan gawai menurut American Academy of Pediatric yakni tidak ada paparan gawai untuk anak dibawah 2 tahun dan maksimal satu jam per hari untuk anak 2-5 tahun.

Penelitian melalui proses MRI pada otak anak di lakukan di rentang umur 3-5 tahun pada anak yang terpapar lebih dari satu jam tiap harinya. Hasil menunjukkan rendahnya jumlah basal ganglia (neuron dalam otak) di area perkembangan bahasa, literasi, kemampuan kognitif. Sedangkan perkembangan otak sangat penting di masa 0-5 tahun pertama manusia. Otak pada anak memiliki  sifat plastisitas yang tinggi dan sangat mudah menyerap informasi, untuk membangun memori dan koneksi dari pengalaman sehari-hari (LaMotte, 2019).

Penurunan otot kognitif terjadi pada kondisi anak yang terbiasa menggunakan gawai secara berlebihan. Informasi didapatkan oleh anak secara instan seperti gambar, suara, dan kata disaat bersamaan. Sayangnya, hal tersebut menyebabkan anak cenderung malas dan tidak tertarik untuk memproses informasi. Anak tidak memiliki ketertarikan untuk mendengarkan cerita secara verbal misalkan dari orangtua, dan tidak ingin memproses informasi secara organik juga menghasilkan imajinasinya sendiri (Margalit, 2016). Hal lain yang ditemukan adalah terpangkasnya secara bertahap sistem lobus frontal yang berperan pada regulasi emosi (Barron, 2015).

Psikologis

Beberapa dampak secara psikologis juga dihasilkan yakni:

-          Penurunan kemampuan menggunakan bahasa ekspresif (mengekspresikan keinginan atau kebutuhan secara verbal/ nonverbal) dan pemahaman literasi

-          Penurunan kemampuan bersosialisasi, dikarenakan kesulitan memahami ekspresi wajah orang lain dan tidak tertarik melakukan interaksi secara langsung.

-          Kesulitan dalam regulasi emosi, dan kesulitan untuk menunggu. Hal ini banyak terjadi karena anak terbiasa memperoleh gratifikasi secara instan.  

-          Peningkatan hormon dopamin dari aktivasi otak, meningkatkan keinginan anak untuk terpapar gadget lebih lama, dan dapat menghasilkan adiksi.

-          Pada remaja meningkatkan simptom depresi dan kesulitan tidur

Oleh karena itu orangtua, pengajar, maupun orang dewasa dapat mencoba menyeimbangkan kegiatan anak dengan aktivitas lainnya. Richard Louv, peneliti, penulis, dan aktivis terkait “nature -deficit disorder” (gangguan tingkah laku akibat penurunan aktivitas bersama alam) menyatakan pentingnya melakukan penyeimbangan antara aktivitas dengan media digital dengan alam.  Kegiatan diluar berinteraksi dengan alam atau bahkan menghadirkan material alam ke dalam rumah dapat menjadi alternatif yang bermanfaat untuk mengaktifkan kemampuan indera anak. Aktivitas ini secara langsung mendukung perkembangan otak secara optimal.

Beberapa alternatif kegiatan

Mengeksplorasi tanah liat

Bermain dengan tanah liat dapat menjadi kegiatan yang menarik bagi anak. Tanah liat dapat dibeli dan ditemukan dengan mudah di Indonesia, dan dapat bertahan dalam waktu yang lama, natural dan tidak mengandung unsur kimia. Pada beberapa kegiatan terapi, tanah liat banyak digunakan untuk relaksasi, melatih kemampuan konsentrasi, dan  imajinasi. Bagi anak tanah liat menjadi media yang sangat menarik untuk berimajinasi dan menghasilkan produk imajinasi.

Open-ended toys

Sebagian dari kita sudah sering mendengar terkait “open-ended toys” atau alat permainan yang menstimulus imajinasi anak. Bahan yang sederhana dan bisa ditemukan di sekitar kita seperti, potongan ranting, daun, batu, kayu, dan banyak lagi. Open-ended toys dapat memberikan ruang bagi anak untuk meningkatkan kreativitas, keamampuan kognitif seperti pemecahan masalah, dan bahkan menstimulus kemampuan sosial dan komunikasi. Contoh, berikan anak beberapa balok kayu kemudian mereka secara mandiri dapat membentuk bangunan, mobil, dan bahkan berimajinasi sebagai makanan. Bentuk permainan ini mampu menghadirkan diri anak secara penuh saat berinteraksi baik dengan orang dewasa, saudara, atau teman sebaya.

Kerajinan tangan

Kerajinan tangan seperti meronce, mencap, dan merajut dapat diterapkan sebagai alternatif kegiatan. Bahan-bahan yang digunakan dapat berupa bahan daur ulang atau yang mudah ditemukan di rumah. Bahkan sisa-sisa sayuran dapat menjadi media cap yang menyenangkan atau sisa baju rusak untuk merajut. Anak dilatih kesabaran dan kemampuan dalam berkonsentrasi, selain itu mereka melatih kegigihan untuk menyelesaikan sesuatu. Pastinya yang penting diingat untuk memperhatikan keamanan, contohnya; menggunakan material yang berukuran cukup lebar pada anak yang lebih kecil.

Proses membumi

Proses membumi adalah proses memberikan kesadaran penuh pada seluruh indera yang kita miliki. Beberapa aktivitas membumi yang dapat dilakukan misalkan, memfokuskan pada satu objek tertentu dengan indera pengelihatan kita mencoba melihat bagian kecil dari objek tersebut. Hal lain misalkan mengaktifkan indera penciuman dengan menyiapkan beberapa bumbu yang dapat dicium oleh anak, ajak mereka untuk mengidentifikasi dan mendiferensiasikan. Berjalan di taman atau tempat yang tenang dan memfokuskan pada proses melangkah dan merasakan tekstur tanah dibawah kaki kita. 

Mendongeng

Proses menyampaikan cerita secara verbal telah teruji mampu meningkatkan kemampuan anak dalam berimajinasi, berkomunikasi, dan kedekatan dengan orangtua. Setelah melakukan proses membumi, orang tua dapat mengangkat pengalaman yang dialami sebagai sebuah cerita. Pada anak yang cukup besar mereka bahkan dapat membuat cerita bersama –sama dengan orangtua. Misalkan, anak sebelumnya melihat kodok dan orangtua di malam harinya dapat membuat cerita sederhana terkait kodok dan raja peri. Hal ini dapat meningkatkan atensi dan semangat anak untuk mendengarkan cerita dan memprosesnya secara kognitif. Cerita juga dapat diberikan dalam alur yang berbeda, misalkan beberapa cerita yang diceritakan tiap harinya berbeda namun pada akhirnya berusaha untuk mencapai tujuan yang sama.  

Pada akhirnya, proses “new normal” diharapkan menjadi masa baru bagi peningkatan kualitas hubungan antara orangtua dan anak. Mendukung terciptanya kedekatan secara emosional dan komunikasi secara maksimal bagi perkembangan anak dimasa depan. Hal penting lainnya adalah mendekatkan anak pada alam yang menjadi bagian langsung kehidupan kita.

 

Daftar Pustaka

Barron, Carrie. (2015). How Technical Devices Influence Children's Brains. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-creativity-cure/201505/how-technical-devices-influence-childrens-brains 

Children and Media Tips from the American Academy Pediatrics. (2018). Diakses dari https://www.aap.org/en-us/about-the-aap/aap-press-room/news-features-and-safety-tips/Pages/Children-and-Media-Tips.aspx

LaMotte, Sandee. (2019). MRIs Show Screen Time Linked to Lower Brain Development in Preschoolers. CNN News. Diakses dari    https://edition.cnn.com/2019/11/04/health/screen-time-lower-brain-development-preschoolers-wellness/index.html

Margalit, Liraz. (2016). What Screen Time Can Really Do to Kids' Brain. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/behind-online-behavior/201604/what-screen-time-can-really-do-kids-brains 

Mendikbud Ungkap Teknologi Tidak untuk Gantikan Guru. (2019). Diakses dari https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/mendikbud-ungkap-     teknologi-tidak-untuk-gantikan-guru 

Multari, Colleen. (2016). The Benefit of Open-Ended Toys fo Kids. NY Metro Parents. Diakses dari https://www.nymetroparents.com/article/Why-Simple-Toys-Prove-to-Be-More-Beneficial-For-Kids

Radcliffe, Shawn. (2018).  Is Screen Time Altering the Brains of Children? Healthline Parenthood. Diakses dari https://www.healthline.com/health-news/how-does-screen-time-affect-kids-brains 

 


Related Posts:

Matematika di Sekolah Waldorf

Pertanyaan yang kerap muncul di kepala orang tua yang anaknya beranjak bertumbuh adalah bagaimana caranya anak belajar membaca, menulis dan berhitung? Mungkin ada yang mencari tau, metode apa yang 'praktis'. Saya sendiri sering kewalahan dengan angka, maka pertanyaan saya adalah.. Bagaimana agar anak cinta belajar?

Tulisan ini merupakan inspirasi yang saya terjemahkan dari Manual pendekatan Matematika pada pendidikan Waldorf di sekolah dasar yang ditulis oleh Peter Van Alphen.

Saya menulisnya pagi ini sebelum kembali tidur selepas sahur. Dengan berkaca-kaca tersentuh hatinya merasakan kecintaan seseorang pada apa yang digelutinya. Mungkin ini yang dikatakan berkah ilmu, ketika dihantarkan dengan ketulusan, maka semangatnya sampai pada yang mempelajarinya kemudian.

Matematika bukan favorit saya, namun ada sudut pandang baru hari ini, pintu lain yang terbuka..

Mari kita mulai.

Pendidikan Waldorf menekankan pondasi kesiapan belajar sebelum anak-anak bersekolah akademik secara formal. Misalnya saja pada matematika, perkembangan fisik, emosional sosial serta intelektual perlu dipelihara sebelum nantinya mereka menginjak usia 7 tahun.

Pondasi matematika sudah ada sejak anak lahir hingga beranjak 7 tahun, apa saja yang anak butuhkan agar pada waktunya kelak ia siap untuk belajar dengan baik di jenjang sekolah?

Perkembangan Fisik

- Daya kehidupan 

Di tujuh tahun pertama kehidupan anak, tubuhnya sedang aktif bertumbuh. Banyak tugas yang harus dikerjakan tubuh anak di usia emas ini, orang tua juga pengasuh perlu merawat daya kehidupan yang sedang membangun, mengembangkan dan menyempurnakan fungsi tubuh anak, itu mengapa permintaan belajar secara akademik sebaiknya dilakukan ketika anak siap agar tidak menginterupsi daya yang sedang fokus pada tubuh. 

- Gerak 
Anak yang baru lahir ke dunia ini tidak langsung begitu saja siap untuk menjelajahi dunia ini, berbeda dengan hewan yang sudah bisa berjalan sejak lahir, manusia perlu waktu. Anak mengenal dan mempelajari dunia ini melalui gerak, dari menggerakkan tangan, tubuh, berguling, merangkak hingga perlahan belajar berjalan. Bicara pun merupakan gerak, dari vibrasi di pita suara, gerak bibir, lidah, semua perlu dipelajari untuk membentuk bunyi tertentu. 

Semua gerak ini berkaitan erat dengan perkembangan otak, bergerak memampukan sinaps - sinaps (jembatan sel otak) dapat terhubung. Sinaps merupakan bagian dari organ yang berfungsi sebagai dasar untuk berpikir, di masa kanak-kanak lah kesempatan terbaik untuk organ dapat tumbuh dengan sempurna agar anak mendapatkan pondasi yang kokoh untuk menulis, membaca juga berhitung.

Perkembangan Emosi 

Anak butuh untuk menjadi manusia yang cinta belajar, rasa percaya diri, dan emosional yang seimbang perlu dibangun sejak lahir hingga usia 7 tahun pertamanya. Keterbatasan pada area ini akan menjadi penghambat anak untuk mau belajar, penting untuk orang tua memelihara kematangan emosi agar anak siap belajar kelak. 

Perkembangan Sosial 
Kesempatan anak untuk mengasah bagaimana ia berhubungan dengan orang lain, juga memecahkan masalah melalui kesempatan untuk bermain bebas yang bukan distruktur oleh orang dewasa. 

Nantinya di jenjang sekolah dasar anak-anak akan belajar bersama dalam kelas ataupun kelompok - kelompok kecil, skill sosial yang baik akan sangat - sangat membantu guru dan murid untuk belajar secara efektif. 

Matematika di sekolah waldorf

Perkembangan Intelektual 

Ketika kita membahas kemampuan intelektual, maka artinya juga perkembangan :

- Kemampuan untuk membuat bayangan di luar kepala (yang artinya bisa dibangun lewat dihantarkan dengan cerita, bukan membaca, juga dibangun dengan hal hal yang imajinatif.

- Kemampuan untuk berpikir secara berurutan, yang juga dibangun melalui cerita, mengingat kejadian dalam dongeng yang diceritakan guru, bermain, mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang banyak elemen berhitungnya tanpa kita perlu menamakannya 'berhitung' 

- Memori atau daya ingat, yang juga dibangun melalui pengamatan anak-anak akan hal- hal di sekitarnya, melalui lagu, cerita, sajak dan puisi yang indah

- Berpikir , daripada hanya mengulang apa yang guru katakan, bagaimana dengan percakapan alami yang sehari-hari dilakukan guru dan anak didik, melalui mendengarkan orang lain bicara secara bergantian. Bertanya bukanlah tentang menjadi pintar, namun melatih keseimbangan antara berpikir dan merasa hingga bagaimana antar manusia dapat bertukar pikiran. Penting untuk menjaga percakapan sesuai dengan usia anak. 

Ketika mencapai usia tujuh hingga empat belas tahun nantinya, akan tetap baik untuk menghantarkan pelajaran pada anak secara imajinatif dan mengandung unsur keindahan, melalui proporsi kegiatan yang menyentuh banyak pengalaman, pun melalui cerita, anak-anak perlu tetap dibimbing untuk menikmati rasa senang dalam belajar, juga keinginan untuk bekerja sebaik mungkin, bukan hanya sesuatu yang asal jadi. Feeling atau rasa perlu dipelihara agar anak merasakan keterkaitan dengan apa yang sedang dipelajari pembelajaran hendaklah mengalir, bukan abstrak dan kering. 

Penting bagi guru maupun orang tua untuk peduli pada bagaimana caranya mengajar, jangan sampai kita merampas kesenangan dan semangat anak dalam belajar. Ini dapat dicapai dengan mengajar secara imajinatif, melalui cerita, lagu, gambar yang indah, juga gerak agar kecintaan untuk belajar terus menyala. 

Imajinasi adalah benih-benih kehidupan, memberi ruang dalam kepala anak untuk menciptakan gambarannya tersendiri, menghadirkan pelajaran yang dihantarkan lewat seni akan memelihara kemauan perasaan dan pikirannya agar proses belajar itu sendiri dapat sehat dan seimbang.

(Ditulis oleh Nanda Indriana) 

Related Posts:

Selamat Idul Fitri 1441 H

Segenap keluarga besar komunitas belajar Arunika Waldorf mengucapkan:

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin


Selamat Idul Fitri

Related Posts:

Media Sosial, Realitas, dan Anak

Media Sosial di sekitar kita

Kurang lebih sudah sekitar dua puluh tahun hidup kita dikelilingi media sosial. Utamanya pada aplikasi ngobrol dan pertemanan, kita jadi bisa banyak terhubung dengan satu sama lain. Kita bisa bertukar kabar dengan orang-orang yang kita cari ataupun kita rindukan, bahkan ada juga yang menemukan jodohnya di media sosial walaupun tidak jarang juga, konflik terjadi di tempat yang sama, iri, cemburu, ataupun salah paham.

Media sosial dengan dinamikanya yang begitu kompleks, pertukaran komunikasi intens dengan minim kesempatan untuk menangkap rasa, gerak tubuh dan gestur wajah lawan bicara.

Belum lagi data diri juga biografi kita yang lebih terekspos kini, jangan lupa foto-foto lama dengan angle yang kadang 'ngga banget' lalu ditag oleh teman-teman, mau untag tapi udah beredar, mau komplain kira-kira dianggap baper nggak ya?

Evolusi kehidupan masa kini menantang kita untuk mempertanyakan lagi konsep 'respect', rasa menghormati serta menghargai. Dan di wahana yang belum ada lembaga kontrol yang jelas ini kita mengolah lagi ide tentang kepatutan, kepantasan, sebelum ada keputusan boleh atau tidak boleh ada core value yang perlu dimengerti bersama antar manusia.




Hal ini juga bisa jadi bahan introspeksi orang tua juga guru atau institusi pendidikan, ketika menampilkan anak di media sosial apakah sudah sesuai persetujuan si anak, bila memang anak setuju apakah ia sudah cukup matang untuk mengetahui bahwa gambarnya beredar di dunia maya, tentu tak ada itikad buruk dari orang tua yang berbagi kisah namun rasanya kompas moral penting untuk mengukur ini, pertanyaan yang bisa kita hadirkan sebelum posting mungkin diantaranya adalah :

- Untuk ke diri sendiri, sharing untuk apa dan siapa..
Cenderungnya mungkin bukan untuk kepentingan anak, mungkin memang tentang orang tua, bagaimana orang tua merefleksikan diri melalui pantulan sang anak.

- bila bukan akun personal, misalnya pada akun sekolah yang membagikan cerita tentang anak didiknya di media sosial maka hendaknya dalam itikad untuk merefleksikan nilai-nilai yang dipegang oleh institusi tersebut. Ngga sekedar aksesori untuk ditampilkan..

- dimana anak ditempatkan, sebagai bahan refleksi mungkin masih wajar, area ini butuh kehati-hatian extra untuk tidak tergelincir menjadikan anak sebagai komoditas

- mencari titik temu agar keinginan berbagi cerita baik dan manfaat pada orang banyak tidak merampas waktu bermainnya, kebutuhannya untuk mendapatkan orang tua /guru yang hadir penuh, serta kebutuhan masa kecilnya.

Rasa respect ini juga menantang kompas moral kita akan privasi, terbuka jalan yang lebih lebar kini untuk kita 'stalking' latar belakang orang lain, seberapa dalam kita mau mengarahkan diri kita untuk mengulik kehidupan orang lain juga menantang rasa kepantasan dalam diri apakah patut untuk kita mengulik privasi orang lain.

Kita hidup dalam wacana budaya timur, cara kita berperilaku di media sosial mempertanyakan batas antara peduli dengan menerobos batas pribadi.

Tanggung jawab moral ini ternyata juga ngga hanya bagi kita yang berbagi tapi juga pada audience yang menyaksikan dan menerima informasi. Kita bertanggung jawab untuk menjadi pribadi yang jujur dalam berbagi.
Tentunya tiap orang orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri untuk mengelola informasi yang diterima, keduanya perlu saling menjaga.

Teknologi vs Realita

Keberadaan teknologi begitu mewarnai hidup kita. Sejak seorang ibu hamil sudah banyak aplikasi yang konon dapat membantu untuk menstimulasi janin, ketika lahir banyak gadget yang juga diperuntukkan atas nama stimulasi, ada juga yang berfungsi untuk penenang, memudahkan bayi tidur dengan fitur white noise, belum lagi bouncer yang kini makin canggih kemampuannya.

Semakin anak besar semakin banyak penyedia jasa, ada teknologi yang dapat menampilkan video untuk ditonton anak, untuk 'belajar' dan yang juga populer adalah untuk membuatnya 'anteng' sementara waktu.

Beranjak remaja juga kemudian tersedia platform dimana anak dapat menampilkan personanya. Media sosial dengan beragam yang ditawarkan, beragam profil. Hingga kemudian kita dewasa banyak sekali fitur fitur yang kita rasa butuh untuk mengisi diri ini.

Dunia hiburan begitu banyak tersimpan dalam teknologi ini, film seru dengan episode panjang bebulan-bulan (bahkan tahun) yang memunculkan berbagai perasaan bagi penontonnya, film berbagai genre sesuai dengan kecenderungan minat kita.

Pertanyaannya, bagaimana kesempatan kita mengenal realita jadi terkompensasi lewat semua yang disajikan teknologi?

Bagaimana kesempatan kita belajar menjadi manusia seutuhnya dapat berjalan maksimal dalam potensi belajar yang dikikis oleh banyaknya penawaran akan 'kemudahan'?

Ketika anak lahir ke dunia, ia beradaptasi untuk membiasakan dirinya agar dapat menerima dunia ini sebagai tempatnya tinggal. Anak juga perlu belajar menguasai tubuhnya agar ia dapat bergerak, maju, berdiri, hingga berlari agar dapat menjalankan perannya di dunia.

Anak perlu merasakan sensasi dari tiap-tiap rasa yang hadir dalam perasaannya, untuk kelak dapat mengelolanya sesuai kebutuhan.

Anak perlu dihadirkan kebenaran hakiki agar pada waktunya kelak ia dapat jernih dan terbuka pada berbagai sudut pandang berpikir. Jernih melihat yang baik dan benar

Bagian menarik dari ide ini adalah tentang bagaimana pentingnya manusia belajar dari realita, dan berbagai filosofi pendidikan setuju akan hal ini.. Namun, bagaimana pelaksanaannya..?

Ketika kesempatan belajar hadir secara artifisial, bagaimana pengalaman alami dapat tumbuh ? Ketika 'tugas' belajar tergantikan dengan teknologi maka semakin banyak kapasitas yang mestinya tumbuh justru menjadi redup. Ketika semua penjelasan sudah diberikan mesin pencari, ensiklopedia hingga video ilustrasi, dimana temuan temuan baru dapat tercipta, apa yang akan jadi bahan bakar agar rasa ingin tahu tetap menyala?

Realita adanya bukan hanya di nalar, tapi juga di rasa. Ketika anak dibacakan cerita/dongeng maka imajinasi terpantik, cara berpikir di luar kepala menghubungkannya dengan pengalaman. Bila tugas berimajinasi sudah banyak dikerjakan oleh video ataupun film, atau gambar yang mendekati sempurna maka seberapa porsi yang bisa didapatkan untuk memunculkan sendiri rasa dalam batinnya.

Ketika segala sesuatunya dinyamankan, dimunculkan, diatur oleh teknologi, maka bagaimana kita dapat melatih kepekaan sebagai manusia?

Sudut ini menantang kembali konsep realita dalam bayangan kita.

Realita dapat intens kita rasakan ketika memandangi bulan purnama, bukan sekedar dari foto atau video, namun ketika duduk menyaksikannya, ada beragam perasaan yang hadir, ada takzim yang muncul, ada rasa hormat pada alam, ada rasa kecil sebagai manusia, namun juga syukur teramat sangat.

Realitas lebih dekat ketika anak mendengar lagu ambilkan bulan, lebih dekat dari hanya mendengar fakta sains, tentu fakta penting, namun realita tidak berhenti di sana, realita itu kaya. Cerita, dongeng, sajak yang indah memberi ruang akan makna berlapis yang kelak akan dipahat, dipoles oleh pengalaman.

Realita juga ternyata sangat individual, beda individu akan beda pemaknaan, berarti realita jauh dari dogma, realita dapat dicapai dengan membuka ruang pada tiap pertanyaan yang hadir dalam kepala. Pada jawaban "I wonder.." ketika anak bertanya.. Cara terbaik adalah dengan bersabar untuk hidup dengan pertanyaan itu, mengujinya sendiri, dan menemukan jawaban dan pemahaman yang kokoh.

Kemudahan berarti Membebaskan

Perjalanan panjang di cerita ini bukan untuk melawan teknologi, apalagi menyalahkannya.

Teknologi, dalam banyak bentuk dibuat oleh manusia selain untuk membuat hidup lebih mudah, juga untuk memangkas waktu agar banyak pekerjaan lain bisa dikerjakan. Meminjam kata Kak Bogi seseorang dosen Fisika, yang kira-kira begini perumpamaannya.. Kalau jaman dulu untuk pergi ke suatu tempat butuh dua hari pake kapal, sekarang bisa dua jam naik pesawat. Maka kita punya kebebasan extra dari durasi tersebut.. (semoga ngga salah nangkep ni hehe)

Nah, kebebasan ini dikembalikan lagi ke manusianya, mau digunakan untuk apa.

Ketika kita punya sosial media sebagai corong siaran berita ke sekeliling kita, maka informasinya kita gunakan untuk apa? Ketika kita punya kesempatan untuk memoles dan menampilkan diri sedemikian rupa, apakah sudah jujur pada diri sendiri..

Its all about intention.

Ketika banyak pekerjaan dibantu oleh teknologi, maka digunakan untuk apakah extra waktu dan tenaga kita?
Sungguh sebuah refleksi yang penting untuk ditanyakan ke diri sendiri.

Apapun itu, semoga yang kita kerjakan mengupayakan untuk kebaikan.

Terima kasih untuk me time di #zoomatan-nya @arunikawaldorf.

Catatan ini dibuat oleh Nanda Indriana. Selebihnya bisa lihat juga di
https://indriananda.blogspot.com/2020/05/the-presence-of-our-children-in-social.html?m=1

Related Posts:

Pentingnya Kesehatan Visual dan Pembelajaran

Kesehatan visual adalah faktor penting pada perkembangan kesehatan anak-anak, dalam proses belajar membaca dan menulis, dan dalam keberhasilan mereka secara keseluruhan di sekolah.

Sayangnya, faktor-faktor tertentu dalam gaya hidup kita menghambat perkembangan mata yang sehat, dan, akibatnya, banyak anak mengalami gangguan penglihatan, seperti penglihatan yang tidak sama antara kiri dan kanan, lemahnya kemampuan melacak benda, masalah konvergensi dan lain sebagainya.

Untungnya, banyak cara yang dapat diupayakan orang tua, guru, serta praktisi kesehatan untuk memperbaiki kesehatan visual dan memulihkan masalah yang telah berkembang sejak lama.





Pelacakan visual (tracking) adalah kemampuan mata untuk mengikuti objek yang bergerak dari sisi ke sisi atau ke atas dan ke bawah. Ini memungkinkan mata kita untuk secara akurat melacak atau melacak bentuk garis atau lengkungan yang menyusun bentuk huruf dan juga angka.

Sementara Konvergensi (convergence) memungkinkan kita untuk menjaga objek tetap fokus dalam pandangan, seperti bola yang bergerak dari jauh ke dekat. Baik pelacakan dan konvergensi sangat penting dalam kemampuan anak untuk membaca dan menulis dan kemampuan untuk dengan mudah menyalin angka dan huruf yang diambil di papan tulis.

Ketenangan dan kesenangan sangat membantu untuk menghindari stress dalam syaraf. Bila anak stress, maka otak tidak mampu berkembang dengan baik.



Jika pondasi sistem syaraf anak belum terbangun dengan sempurna, akan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir ketika mengidentifikasi angka atau huruf yang mereka lihat.
Mereka akan merasa kewalahan ketika mencoba memahami huruf ketika membaca atau berhitung
Anak akan mengalami banyak stress dimana ia tidak suka sekolah, tidak suka gurunya, dan tidak suka belajar.

Kita ingin anak untuk mencintai belajar seumur hidupnya. Kita ingin anak mencintai dan menghargai guru dan dengan bersemangat pergi ke sekolah. Bila ada kesenangan dalam belajar anak akan hadir penuh, syarafnya rileks, pikirannya terbuka lebar untuk mengalami keindahan dunia.

Disadur dari artikel berjudul Seeing and Learning: Identifying and Ameliorating Early Vision Problems oleh dokter Susan Johnson, MD.


Related Posts:

Kesiapan Anak Untuk Masuk TK

"Receive the children in reverence, educate them in love, and send them forth in freedom." ~ Rudolf Steiner

Poin-poin ini tidak mutlak menjadi patokan namun setidaknya dapat membantu orangtua mengenal kebutuhan anak. Bila anak sudah memasuki usia TK, orang tua sudah mulai dapat memberikan kemandirian pada anaknya sebagai persiapan

Beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan adalah..

• faktor kenyamanan anak ketika berpisah dengan orang tuanya untuk sementara waktu, apakah anak dapat bermain sendiri tanpa harus selalu didampingi, juga apakah anak merasa nyaman bermain dengan orang lain.

• kapasitas untuk dapat duduk tenang dan mendengar cerita
Di sekolah Waldorf, anak-anak yang dapat duduk tenang untuk mendengarkan dongeng dari awal hingga akhir cerita dapat menggambarkan tanda kesiapannya dalam kemampuannya menerima arahan.

• I - individualitas - kedirian
usia tiga tahun menjadi usia lahirnya kedirian anak, dimana anak sudah mulai tumbuh individualitasnya, pada tahapan ini, anak sudah dapat menamakan dirinya "saya" atau "aku".
Kedirian dapat membantu anak meregulasi diri, kapasitas tsb memampukan anak menyampaikan pesan ketika berinteraksi dengan orang lain.


Pada dunia Taman Kanak-kanak, interaksi sosial sudah dimulai melalui bermain, nantinya akan banyak dinamika yang akan terjadi di dalamnya, momen inilah yang akan mengasah kemampuan anak bersosialisasi. Kedirian yang sudah tumbuh akan memudahkan anak ketika interaksi berlangsung.

• Berpakaian.
Keseharian di TK Waldorf diatur melalui ritme, ada beberapa kali pergantian waktu bermain antara di dalam dan di luar ruangan. Sejak anak kecil anak dapat dibiasakan untuk diberi pakaian juga alas kaki yang dapat memberinya kemudahan untuknya memakai sendiri.

Ketika anak keluar masuk ruangan mereka akan melepas dan memakai sepatutnya sendiri, kemudahan yang menjadikan mereka mampu memasang dan melepaskan alas kaki akan berpengaruh ke rasa percaya diri anak dalam bermain dan keseharian di sekolah.

• toilet training
Kesadaran akan waktunya buang air dan mampu ke kamar kecil juga membersihkan dirinya menjadi gambaran bahwa anak sudah cukup mandiri untuk merawat atau mengurus dirinya.

• disapih
anak yang siap masuk ke taman kanak-kanak adalah yang sudah selesai masa menyusu.

• stamina
Jam bermain anak di TK kira - kira sekitar empat jam per hari, orang tua perlu mempersiapkan apakah anak dapat bertahan selama itu tanpa tidur siang? Penting bagi orang tua untuk dapat memperhatikan stamina anak secara fisik dan mental demi kesehatan belajarnya.

Semakin banyak poin kesiapan terpenuhi, proses anak bersekolah akan bergulir lebih baik. Ia bisa fokus bermain.

(Diambil dari catatan selepas Study Group, Nanda Indriana)

Related Posts:

Study Group Jakarta: Kolaborasi Dalam Pendidikan

_"The only person who is educated is the one who has learned how to learn …and change."_
Carl Rogers

Jika perubahan adalah esensi pendidikan, kolaborasi menjadi napas penting dalam menjaga keberlangsungan dari perubahan tersebut.

Tiga pilar penting dalam pendidikan di lingkaran sekolah adalah lembaga, orang tua, dan guru. Ketiganya harus mampu menjalankan peran masing-masing dengan kesadaran spiritual yang tinggi. Semua pihak harus berkesadaran bahwa setiap laku dalam lingkaran pendidikan adalah tugas mulia demi mengantarkan seorang anak manusia memahami perannya di dunia ini.

Lembaga, orang tua, dan guru harus bergerak selaras. Ketika ada satu peran yang lebih dominan, harus ada yang mampu merajut hingga menjadi seimbang dengan pilar lainnya. Satu sama lain harus saling mendukung sehingga terjalin ikatan yang harmonis.

Membuka tahun 2020 ini, kelompok belajar Waldorf Jakarta akan berdiskusi dan menggali esensi dari konsep _teamwork_ dalam pendidikan, bagaimana merawat kolaborasi lembaga yang menaungi, orang tua yang mendukung, dan para guru yang bergiat bersama siswa secara sehat akan membuat jalinan pilar pendidikan berjalan selaras.

Kegiatan _study group_ kali ini akan diisi oleh Iden Wildensyah sebagai pemateri, seorang profesional yang menemukan kecintaannya pada dunia pendidikan, dunia yang membawanya pada jalan menuju pencarian makna. Kecintaannya itu yang menjadikannya guru selama sepuluh tahun terakhir.

Dalam sesi artistik yang selalu menjadi bagian penting dari pendidikan Waldorf, kita akan mengolah tanah liat, sebuah pengalaman yang membumi dan mengolah bagian rasa dalam diri manusia.

Mari hadir di kegiatan _study group_ Waldorf Jakarta bulan ini pada
Hari, tanggal: Minggu, 26 Januari 2020
Waktu: pukul 09:30 - 13:00
Lokasi :
Sekretariat IA ITB
Jl. Hang Lekiu II No.40
Jakarta Selatan

Biaya sebesar Rp110.000 sudah termasuk materi, tanah liat untuk diolah dan dibawa pulang, juga sedikit camilan dan air minum. Silakan teman-teman membawa botol minum sendiri.

Tak sabar untuk dapat berjumpa lagi dengan teman-teman di tahun yang baru ini.



Related Posts:

For Earthshake: Achieving Individual Health and Social Well-Being

[EVENT] [sharing sessions]
For Earthshake: Achieving Individual Health and Social Well-Being

Mengundang anda untuk menghadiri Sharing session tentang Eco Enzyme, pengembangan Bisnis Organik dan pengalaman Anthroposophy. Sharing oleh dr Joean Oon dan Callie Tai. Mereka penggiat anthroposophy di Malaysia dan sekaligus praktisi di bidang kedokteran holistik, advokat eco enzyme dan pemilik bisnis organik. 
Acara tidak dipungut biaya. 
Kami menerima donasi dengan senang hati, yang akan kami sumbangkan untuk pengembangan sekolah Arunika Waldorf. 
Tempat terbatas. Mohon registrasi. http://bit.ly/4earthsake







#eventbandung #waldorfschool #waldorfeducation #ecoenzyme #biodynamic #biodynamicfarming #rudolfsteiner #anthroposophy #sekolah #sekolaharunika #sekolahwaldorf #sekolahbandung

Related Posts: