Dunia Ini Baik

Dalam situasi sekarang ini dimana banyak peristiwa yang tidak mengenakan terjadi di sekeliling kita, merupakan tantangan tersendiri untuk merasakan bahwa dunia ini baik. Konflik, peperangan, bencana alam, kecelakaan, pembunuhan, korupsi, dan banyak peristiwa menyedihkan lain yang kita saksikan sendiri ataupun kita lihat di media elektronik, yang kita alami sendiri ataupun yang dialami orang lain membuat kita mungkin merasa khawatir akan masa depan dunia ini. 

Di suatu pagi saat sinar mentari mencoba menyelinap memberi kehangatan di sela-sela desiran angin dingin, terdengar suara kecil menyapa, “Bu Kenny...Bu Kenny tau ga BEJ ambruk?” Agak terkejut mendengarnya dan saya hanya menjawab seadanya, “oiya...tau.” Kemudian suara kecil itu beralih kepada makhluk-makhluk kecil di smapingnya, “ambruknya begini lo...” ia mempergakan dengan tangannya sambil mengeluarkan suara bagaimana ambruknya gedung tersebut. Iapun berkata, “ambruknya itu karena ada penumpukkan orang!” Saya mencuri-curi dengar dan tergoda untuk bertanya, “tau dari mana?” Iapun menjawab, “dari berita.”

Susan Weber, seorang yang banyak berkiprah dalam dunia pendidikan Waldorf, mengatakan dalam sebuah tulisannya, “For the child just beginning life, there is one single mantra that needs to guide those early steps and years: the world is good. Nothing brings stamina for life and daily well being to our children more directly and strongly than surrounding them and immersing them into an atmosphere of goodness and joy.”

Seorang bayi menikmati kehidupannya dalam rahim sang ibu yang begitu aman, nyaman, dan hangat, dan kemudian mereka hadir di sebuah dunia yang baru yang begitu asing bagi mereka. Apa yang kita rasakan ketika kita harus pindah rumah, pindah tempat kerja, pindah kota, pindah ke lingkungan yang baru? Saya berani mengatakan bahwa pasti sedikit banyaknya akan ada rasa khawatir, atau rasa takut, bertanya-tanya seperti apakah tempat yang baru itu, apakah tempat yang baru itu akan emmberikan keamanan, kenyamanan dan kehangatan? Dan ketika ada tetangga, teman kerja, ataupun keluarga yang menceritakan hal-hal buruk mengenai tempat yang baru tersebut, maka kita akan berpikir kembali untuk memutuskan apakah jadi pindah atau tidak, kita akan menjalani kehidupan di tempat yang baru dengan perasaan was-was, atau malah kita akan memutuskan untuk kembali ke tempat yang lama. 

Anak-anak memiliki organ-organ pengindera yang sangat luar biasa. Mereka mengamati dan menyerap apa yang mereka lihat, dengar, bahkan mereka rasakan. Mereka begitu terbuka. Tetapi mereka belum bisa menginterpretasikan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Mereka baru saja hadir di dunia yang serba asing ini. Tujuh tahun bahkan empat belas tahun kehidupan mereka di dunia ini merupakan waktu yang terlalu singkat bagi mereka untuk dapat mengerti dan menerima hal-hal buruk yang ada di dunia ini. Pesan yang mereka cari dari kita adalah, “saya bahagia hidup di dunia yang baru ini. Dunia yang baru ini begitu menyenangkan dan saya ingin tinggal di dalamnya. ” Merekapun membutuhkan sebuah kepercayaan yang akan meyakinkan mereka bahwa dunia ini baik adanya dan oleh karena itu saya ingin memasukinya, saya ingin tahu, saya ingin melihatnya, saya ingin menyentuhnya, saya ingin mengeksplorasi, saya ingin menemukan hal-hal yang baru dan baru lagi. Saya ingin ingin merasakan semua yang ada di dalamnya dengan segala kepercayaan diri saya terhadap dunia yang baik dan indah ini. Jika pesan yang mereka dapatkan adalah ketidakbaikkan dari dunia ini, maka bisa dibayangkan bahwa mereka akan “kembali masuk” ke dalam dirinya sendiri, menutup diri, merasa khawatir, takut, tidak percaya diri, takut mencoba hal-hal baru. Binar-binar di matanya akan meredup. Bagaimana mereka bisa percaya diri, tertarik dan mau mencoba hal-hal baru, jika mereka merasa dunia ini tidak aman?

Dunia Ini Baik (Arunika Waldorf)

Dunia Ini Baik, Nak!


“We owe to them their birthright: the world is good and I am grateful and happy to be in it. It is a safe place for me to grow in. And later, much later, I will be able to take on its pain and burdens. But give me time, peace, and space in which to discover the goodness in life for myself, in which to grow strong, capable, brave, and enthusiastic for life. Protect me from the challenges of adulthood until I am ready.” Ada waktunya...ada waktunya mereka akan dapat mengerti dan menerima apa yang tidak mengenakkan di dunia ini. Ketika mereka sudah siap, ketika sudah tumbuh kepercayaan dalam diri mereka bahwa dunia ini baik dan indah. 

Jauhkanlah berita-berita buruk dari kehidupan mereka baik dalam obrolan sehari-hari maupun dari media lain yang dapat dijangkau anak-anak. Sebagai orang tua, tumbuhkanlah sense of wonder, sekecil apapun, dalam diri kita dari apa saja yang kita lihat, dengar dan rasakan. Lihatlah sekeliling kita. Rerumputan yang basah oleh air hujan, embun di pagi hari, bunga yang tumbuh bersemi, kupu-kupu yang beterbangan kesana dan kemari. Dengarkanlah desiran angin, suara air hujan, kicau burung di pagi hari. Rasakan hangatnya mentari. Nikmati sinar bulan dan bintang di malam hari. Yang seperti itu akan mengingatkan kita pada “keajaiban” dan betapa menakjubkannya dunia ini. Temukan puisi-puisi yang indah. Senandungkan lagu-lagu yang menenangkan.  And see if, step by tiny step, you can rediscover, in difficult times, that the world truly is good.

Steadfast I stand in the world
With certainty I tread the path of life
Love I cherish in the core of my being
Hope I carry into every deed
Confidence I imprint upon my thinking.
These five lead me to my goal
These five give me my existence.
-Rudolf Steiner-

Dunia Ini Baik adalah catatan Kenny Dewi, pegiat pendidikan waldorf di Indonesia. Tulisan ini diambil dengan izin. Sumber asli bisa lihat di http://jagadalitschool.blogspot.co.id/2018/01/dunia-ini-baik.html?m=1

Related Posts:

Sekolah Bukan Bengkel

Bengkel adalah tempat yang kita tuju ketika mobil kita rusak, Untuk diperbaiki tentunya. Kita tinggal kirim mobil kita, lalu kita tinggalkan atau tunggui, lalu saat selesai, voila! mobil sudah kembali baik. Oh jangan lupa bayar kewajibannya.

Sekolah bukanlah bengkel sebagaimana anak bukanlah mobil rusak. Hal ini sudah disadari banyak orang tua sehingga dalam pencarian mereka terhadap suatu sekolah, mereka mencari sekolah yang bisa memberi masukan terhadap perjalanan mereka mendidik anak-anak mereka. Orang tua pun kini dalam mencari sekolah mempertimbangkan gaya atau pendekatan dalam mengajar oleh beda-beda sekolah, latar belakang guru-guru, prinsip pendidikan yang dianut oleh sekolah. Mereka mencari sekolah yang satu visi, atau minimal sejalan dengan prinsip mereka dalam mendidik anak.

Maka, semakin banyak pula orang tua yang enggan menyerahkan seratus persen pendidikan anaknya pada sekolah. Hal ini tentu saja sangat baik. Orang tua yang mengambil porsi besar pendidikan anak pada bahunya sendiri, akan mencari sekolah yang bisa dijadikan partner, pendamping, dan kolaborator dalam memberikan yang terbaik pada anak mereka. Pergi ke sekolah bukan lagi sama dengan mengirim anak seharian penuh dan pulang sampai rumah sudah pintar dan soleh, tapi sebagai pelengkap dari apa yang belum dialami anak di rumah. Karena bagaimana pun juga anak meluangkan waktu lebih panjang bersama keluarga dan pengasuh daripada dengan guru, dari total 24 jam sehari.

Anak membawa benih kebaikan dalam dirinya, dan anak mengidap rindu menebarkan berkah benih tersebut pada dunia. Maka tugas kita lah bukan untuk membentuk benih itu menjadi satu jenis tanaman yang seragam, tapi agar benih itu tumbuh menjadi berbagai macam kebaikan dan keindahan di muka bumi agar menjadi berkah bagi sesama manusia, sesama makhluk dan sesama penghuni semesta. Bukan kah itu yang kita harapkan?

Berkah untuk semesta.

Berkarya di Sekolah Waldorf

Related Posts:

Bukan Sekadar Matematika

Di Sekolah Waldorf, Matematika bukanlah sekadar belajar mengetahui angka dan berhitung; namun juga proses mengenali dan memahami angka. Matematika menjadi sebuah media pembelajaran mengenal dunia luar (alam) melalui diri. Menurut Steiner, ada dua indra utama yang diperlukan dalam belajar Matematika, yaitu Indra Gerak dan Keseimbangan. Melalui dua indra inilah, pelajaran Matematika dipelajari.

Selain itu, pelajaran yang dilakukan bersamaan dengan teman-teman yang lain (dalam sebuah lingkaran), menjadikan mereka sekaligus belajar empati, kerjasama, dan kepedulian. Tentunya jika seluruh tubuh ikut belajar, proses belajar tidak lagi mengendap di pikiran, namun juga rasa dan karsanya. Yang demikianlah, yang sesungguhnya adalah pembelajaran yang holistik.


Contoh penyajian pelajaran matematika  di Sekolah Waldorf


Catatan singkat ini dibuat oleh Yasmin Kartikasari (Pegiat Komunitas Belajar Arunika Waldorf) 

Related Posts:

Berkarya Di Atas Papan Tulis Hitam

Salah satu hal yang menarik dan menjadi pembeda Sekolah Waldorf dengan sekolah lain di kota adalah penggunaan blackboard atau papan tulis hitam (berwarna dasar hitam). Jangan dulu lihat masa lalu di kampung yang SD-nya menggunakan Papan Tulis Warna Hitam juga karena sama warna papan tulisnya. 

Nah, bukan tanpa alasan di Sekolah Waldorf selalu menggunakan papan tulis warna hitam ini. Selain alasan filosofis juga untuk mengejar sisi keindahan, estetis. Dengan warna hitam, warna lain bisa muncul termasuk warna putih. Bandingkan jika menggunakan papan warna putih maka untuk mengejar warna putih akan sulit. 

Di Bandung Waldorf Grade School Teacher Training yang lalu, kami diantar untuk mengenal dasar-dasar menggunakan papan tulis hitam dengan baik.

Blackboard Drawing

Menulis di atas papan tulis hitam



Selalu ada hal yang baru



Karena belajar di Sekolah Waldorf itu asyik, menarik, dan menyenangkan 



Related Posts:

Perkalian Menjadi Asyik di Sekolah Waldorf

The student of mathematics must get rid of all arbitrary thinking and follow purely the demands of thought. In thinking in this way, the laws of the spiritual world flow into him. This regulated thinking leads to the most spiritual truths.” (Rudolf Steiner)

Ada satu hal yang dulu sangat berat untuk dihapal, perkalian. Selain rumit, perkalian itu matematika. Pokoknya ketika berhubungan dengan matematika, rasanya menghapal itu sebuah hal yang berat. 
Dahulu saya tidak tahu alasan harus menghapal selain bisa menjawab perkalian. Menghapal perkalian bukan menghapal IPA atau IPS atau PMP. Di luar matematika, saya masih senang menghapalkan. 
Dulu, saya tidak suka menghapal karena beralasan hal itu terlalu dangkal untuk belajar. Menghapal bukan menganalisis, bukan juga mengikat makna. Menghapal hanya sekedar mengingat.
Tetapi sekarang saya tahu makna dibalik menghapal terutama matematika. Dalam matematika, operasi hitung itu sudah menjadi keseharian. Semua akan bermuara di penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Nah, hapal perkalian akan memudahkan analisis selanjutnya. Itu berarti menghapal menjadi penting untuk diperhatikan.

Perkalian menjadi asyik (iden)

Masalahnya sekarang adalah mencari pola-pola menghapal yang menyenangkan dan mengasyikan. Misalnya menghapal dengan lagu-lagu. Biasanya yang dibawakan dalam nyanyian akan teringat terus. Selain itu, saya coba mencari literatur tentang menghapal dan pola perkalian yang diajarkan di Sekolah Waldorf. Muncullah beberapa pola yang menarik.
Pertama permainan mengingat bilangan loncat atau kelipatan bilangan. Misalnya kelipatan dua, tiga, dan seterusnya. Sambil bermain sambil mengingat pola kelipatan atau pola loncatnya bilangan ke bilangan selanjutnya.
Kedua, dengan bentuk pola. Polanya seperti bintang, mandala, dll. Caranya dengan menghubungkan setiap angka dengan angka yang lainnya sesuai kelipatannya. Misalnya dari perkalian 2 akan terhubung mulai dari 0, 2, 4, 6, 8, dan 0. 0 yang kedua nilainya jadi 10, 2 yang kedua nilainya jadi 12, demikian seterusnya sampai kembali ke 0 ketiga yang nilainya 20. Cara ini sangat mengasyikan karena anak akan mengingat pola bukan sekedar mengingat hasil angka perkalian saja.


*Perkalian Menjadi Asyik di Sekolah Waldorf adalah catatan Iden Wildensyah. Bisa dilihat juga disini dan juga di www.iden.web.id

Related Posts: