Sekolah ini adalah salah satu sekolah yang menginspirasi saya selama bergiat. Banyak inspirasi mendidik yang saya ambil referensinya dari sekolah ini.Sekolah Waldorf menjadi pilihan para petinggi perusahaan teknologi di Silicon Valley.
Pendidikan Waldorf dikenal pula sebagai Pendidikan Steiner. Sistem ini dikembangkan oleh Rudolf Steiner dari Austria. Pendidikan di Sekolah Waldorf mementingkan imajinasi dan kreativitas dalam pembelajaran. Misi sekolah ini adalah mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang merdeka, utuh, dan memiliki tanggung jawab sosial. Guru dipandang memiliki tugas suci membantu perkembangan jiwa dan rasa anak-anak. Setiap anak dibantu agar mereka bisa mencapai yang terbaik sesuai potensi masing-masing.
Sejarah Sekolah Waldorf
Sekolah Waldorf di sebagian tempat dikenal pula sebagai Sekolah Steiner, yang diambil dari nama Rudolf Steiner. Sedangkan nama Sekolah Waldorf, diambil dari nama sekolah pertama yang didirikan dan dikembangkan Rudolf Steiner. Sekolah itu dibangun di Kota Stutgart, Jerman, tahun 1919. Sekolah itu dibangun untuk mendidik anak-anak pekerja pabrik Waldorf-Astoria. Nama Sekolah Waldorf kemudian menjadi trademark.
Sekolah Waldorf terus bertambah. Hingga tahun 2011, sudah ada 1.003 Sekolah Waldorf di 60 negara. Serta, ada lebih dari 2.000 pendidikan anak usia dini, 629 institusi untuk sekolah rumah, dan sekolah luar biasa di seluruh dunia. Sekolah-sekolah itu merupakan sekolah independen, namaun menerapkan model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner.
Teori Perkembangan Anak Menurut Rudolf Steiner
Dalam prosesnya, pendidikan di Sekolah Waldorf sangat menekankan pentingnya pendidikan berdasarkan jenjang usia. Berikut ini tahap-tahap pembelajaran dalam sistem pendidikan Rudolf Steiner.
Pada masa awal kanak-kanak, pembelajaran lebih banyak didasarkan kepada pengalaman, peniruan, dan berbasis indra. Pembelajaran pun lebih banyak menggunakan kegiatan-kegiatan praktis.
Pada masa usia sekolah dasar, pembelajaran bersifat artistik dan imajinatif. Pada tahap ini, pendekatan yang digunakan adalah membangun kehidupan emosional anak. Juga, mengembangkan ekspresi seni anak melalui serangkaian seni pertunjukan dan seni rupa.
Pada masa remaja, pembelajaran ditekankan pada pengembangan pemahaman intelektual, juga gagasan-gagasan mulia seperti tanggung jawab sosial.
Sistem Pendidikan di Sekolah Waldorf
Memupuk Kreativitas
Pembelajaran di tingkat SD ditekankan kepada pemupukan daya imajinasi dan kreativitas anak. Perkembangan emosi anak mendapat perhatian besar. Anak-anak mendapatkan banyak ruang untuk berekspresi melalui berbagai bidang seni seperti seni drama, seni musik, seni rupa, hingga seni suara. Untuk memupuk kreativitas, segala hal yang dipandang menghambat kreativitas anak akan dijauhkan. Bukan hanya komputer, tetapi juga televisi serta rekaman musik. Aktivitas di luar ruangan serta gerak badan juga sangat dipentingkan.
2. Keterampilan Diutamakan
Keterampilan tangan para murid juga sangat diutamakan dalam pembelajaran ini. Misalnya merajut, membuat keramik, menjahit dengan tangan, dan sebagainya. Bahkan, pelajaran keterampilan masuk kurikulum sekolah. Mereka meyakini, keterampilan tangan dapat melatih koordinasi antara mata dengan tangan. Juga belajar untuk fokus dalam sebuah proses sejak membuat konsep hingga tahap penyelesaian.
3. Cinta Bahasa Sebelum Bisa Membaca
Salah satu keunikan lainnya adalah sebelum anak-anak bisa membaca, para guru lebih dulu menumbuhkan kecintaan akan bahasa. Hal itu dibangun melalui bahasa lisan, nyanyian, puisi, serta permainan. Termasuk saat guru mendongeng, anak-anak akan menyimak dan belajar menjadi pendengar yang baik.
Selain bahasa ibu, anak-anak diajarkan pula dua bahasa asing di tingkat dasar. Untuk sekolah berbahasa Inggris, bahasa asing yang diajarkan adalah bahasa Jerman dan bahasa Prancis atau Spanyol.
4. Keterampilan Bersosialisasi
Murid-murid juga diajarkan mengenai pentingnya memiliki rasa tanggung jawab sosial, rasa hormat, dan kasih sayang, serta kemampuan bekerja sama. Diajarkan pula mengenal perbedaan. Seperti di Afrika Selatan, saat politik apartheid masih diberlakukan. Sekolah Waldorf justru memiliki murid warga kulit hitam maupun kulit putih. UNESCO memiliki peran menyiapkan masyarakat untuk memasuki era komunitas baru yang menyatu.
Sekolah Waldorf di Thailand
Saya bersyukur punya kesempatan mengunjungi Sekolah Waldorf di Asia Tenggara yaitu Thailand. Dua Sekolah Waldorf yang saya kunjungi adalah Tripat Waldorf School dan Panyotai Waldorf School
Inilah sedikit catatan saya waktu mengungjungi kedua sekolah tersebut.
Salah satu hal yang menarik dari sekolah ini adalah penggunaan kapur dan bentuk papan tulis yang tidak konvensional. Bentuknya sangat artistik bisa dibuka tutup yang memungkinkan anak-anak untuk menyerap materi dengan penuh kejutan-kejutan menarik dari gurunya. Setiap bagian dalam papan tulis memiliki arti dan gambar tersendiri. Yang patut diacungi jempol dari setiap ruangan dan papan tulis yang saya lihat adalah kreativitas guru-gurunya dalam menampilkan gambar dan materi yang menarik. Tidak rata-rata, tentu saja.
Para guru membuat dengan kesungguhan dan cita rasa seni yang tinggi. Seperti menggambar salah satu adegan dongeng yang menjadi pengantar untuk belajar anak-anak, membuat komposisi warna pada pelajaran matematika dan pengenalan bidang datar, dll. Sangat artistik dan terlihat bahwa seni adalah bagian tak terpisahkan dari mengajar apapun. Inspirasi semangat ini yang perlu ditiru, saya senang melihat dan merasakan secara langsung energi yang positif dalam menghantarkan pembelajaran untuk anak-anak.
Di kedua sekolah yang saya datangi, saya juga merasakan bahwa berkarya adalah keseharian mereka dan mereka sangat menikmati saat-saat berkarya, saat merancang, dan saat mengerjakannya. Berkarya adalah bagian pembelajaran yang menyenangkan dan menaik.
Dalam berkarya, anak-anak membuat karya individu dan kelompok. Berkarya bisa menjadi proyek yang berdaya guna. Hasil karyanya bisa digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Baik karya kelompok atau juga karya individu, misalnya merajut untuk membuat wadah dekoder. Lebih dalam lagi, merajut adalah bagian dari keterampilan untuk membuat pakaian. Dalam membuat proyek, anak-anak berkarya sesuai jenjangnya. Anak-anak yang lebih besar dengan kemampuan fisik dan motorik kasarnya yang sudah terasah mampu membuat proyek yang besar untuk digunakan anak-anak jenjang kecil. Misalnya membuat rangka kayu untuk permainan, rumah-rumahan dari kayu, dsb.
Dalam berkarya selanjutnya bisa disebut sebagai bagian dari proyek kelas.Proyek yang selalu melibatkan anak-anak dan guru sebagai fasilitator. Pada sekolah yang saya datangi, salah satu proyek besarnya adalah pembuatan ruangan untuk berkarya dengan bahan kayu. Mulai dari meratakan tanah, membuat tiang-tiang penanda, dan membuat pondasi, semua dikerjakan bersama-sama oleh guru dan anak-anak. Anak-anak adalah pemeran utama dalam proyek ini, guru sebagai fasilitator mengarahkan dan membimbing anak-anak untuk bisa menjalankan proyeknya dengan baik.
Mari kita lihat juga proyek di jenjang kelas 2, di sini saya melihat sebuah anyaman dari benang berwarna-warni. Salah seorang guru yang saya temui merendah ketika ditanya itu proyek spektakuler untuk anak-anak kelas 2. “Yah, tapi gak tahu kapan selesainya” kata dia sambil bercanda. Proyek ini dikerjakan setelah mengerjakan pekerjaan rutin sekolah lainnya misalnya mengerjakan lembaran kerja matematika. Tiap anak yang berhasil duluan, boleh mengambil satu benang kemudian disulam dengan cara mengikuti pola yang sudah ada sebelumnya. Proyek ini selain mengajarkan ketekunan, kerapihan, dan ketepatan mengikuti pola juga mengajarkan kreativitas dalam mengolah bahan benang. Anak-anak yang mengerjakan proyek itu sangat menikmati prosesnya, mereka belajar untuk tenang dan mampu mengerjakan sesuai instruksi tanpa harus terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya.
Sebagian sumber artikel ini diambil dari Koran Berani, 15 November 2011.
Artikel ini ditulis oleh Iden Wildensyah. Catatan lainnya bisa dilihat di www.iden.web.id
Pendidikan Waldorf dikenal pula sebagai Pendidikan Steiner. Sistem ini dikembangkan oleh Rudolf Steiner dari Austria. Pendidikan di Sekolah Waldorf mementingkan imajinasi dan kreativitas dalam pembelajaran. Misi sekolah ini adalah mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang merdeka, utuh, dan memiliki tanggung jawab sosial. Guru dipandang memiliki tugas suci membantu perkembangan jiwa dan rasa anak-anak. Setiap anak dibantu agar mereka bisa mencapai yang terbaik sesuai potensi masing-masing.
Sejarah Sekolah Waldorf
Sekolah Waldorf di sebagian tempat dikenal pula sebagai Sekolah Steiner, yang diambil dari nama Rudolf Steiner. Sedangkan nama Sekolah Waldorf, diambil dari nama sekolah pertama yang didirikan dan dikembangkan Rudolf Steiner. Sekolah itu dibangun di Kota Stutgart, Jerman, tahun 1919. Sekolah itu dibangun untuk mendidik anak-anak pekerja pabrik Waldorf-Astoria. Nama Sekolah Waldorf kemudian menjadi trademark.
Sekolah Waldorf terus bertambah. Hingga tahun 2011, sudah ada 1.003 Sekolah Waldorf di 60 negara. Serta, ada lebih dari 2.000 pendidikan anak usia dini, 629 institusi untuk sekolah rumah, dan sekolah luar biasa di seluruh dunia. Sekolah-sekolah itu merupakan sekolah independen, namaun menerapkan model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner.
Teori Perkembangan Anak Menurut Rudolf Steiner
Dalam prosesnya, pendidikan di Sekolah Waldorf sangat menekankan pentingnya pendidikan berdasarkan jenjang usia. Berikut ini tahap-tahap pembelajaran dalam sistem pendidikan Rudolf Steiner.
Pada masa awal kanak-kanak, pembelajaran lebih banyak didasarkan kepada pengalaman, peniruan, dan berbasis indra. Pembelajaran pun lebih banyak menggunakan kegiatan-kegiatan praktis.
Pada masa usia sekolah dasar, pembelajaran bersifat artistik dan imajinatif. Pada tahap ini, pendekatan yang digunakan adalah membangun kehidupan emosional anak. Juga, mengembangkan ekspresi seni anak melalui serangkaian seni pertunjukan dan seni rupa.
Pada masa remaja, pembelajaran ditekankan pada pengembangan pemahaman intelektual, juga gagasan-gagasan mulia seperti tanggung jawab sosial.
Sistem Pendidikan di Sekolah Waldorf
Memupuk Kreativitas
Pembelajaran di tingkat SD ditekankan kepada pemupukan daya imajinasi dan kreativitas anak. Perkembangan emosi anak mendapat perhatian besar. Anak-anak mendapatkan banyak ruang untuk berekspresi melalui berbagai bidang seni seperti seni drama, seni musik, seni rupa, hingga seni suara. Untuk memupuk kreativitas, segala hal yang dipandang menghambat kreativitas anak akan dijauhkan. Bukan hanya komputer, tetapi juga televisi serta rekaman musik. Aktivitas di luar ruangan serta gerak badan juga sangat dipentingkan.
2. Keterampilan Diutamakan
Keterampilan tangan para murid juga sangat diutamakan dalam pembelajaran ini. Misalnya merajut, membuat keramik, menjahit dengan tangan, dan sebagainya. Bahkan, pelajaran keterampilan masuk kurikulum sekolah. Mereka meyakini, keterampilan tangan dapat melatih koordinasi antara mata dengan tangan. Juga belajar untuk fokus dalam sebuah proses sejak membuat konsep hingga tahap penyelesaian.
3. Cinta Bahasa Sebelum Bisa Membaca
Salah satu keunikan lainnya adalah sebelum anak-anak bisa membaca, para guru lebih dulu menumbuhkan kecintaan akan bahasa. Hal itu dibangun melalui bahasa lisan, nyanyian, puisi, serta permainan. Termasuk saat guru mendongeng, anak-anak akan menyimak dan belajar menjadi pendengar yang baik.
Selain bahasa ibu, anak-anak diajarkan pula dua bahasa asing di tingkat dasar. Untuk sekolah berbahasa Inggris, bahasa asing yang diajarkan adalah bahasa Jerman dan bahasa Prancis atau Spanyol.
4. Keterampilan Bersosialisasi
Murid-murid juga diajarkan mengenai pentingnya memiliki rasa tanggung jawab sosial, rasa hormat, dan kasih sayang, serta kemampuan bekerja sama. Diajarkan pula mengenal perbedaan. Seperti di Afrika Selatan, saat politik apartheid masih diberlakukan. Sekolah Waldorf justru memiliki murid warga kulit hitam maupun kulit putih. UNESCO memiliki peran menyiapkan masyarakat untuk memasuki era komunitas baru yang menyatu.
Penulis di Sekolah Waldorf di Thailand
Sekolah Waldorf di Thailand
Saya bersyukur punya kesempatan mengunjungi Sekolah Waldorf di Asia Tenggara yaitu Thailand. Dua Sekolah Waldorf yang saya kunjungi adalah Tripat Waldorf School dan Panyotai Waldorf School
Inilah sedikit catatan saya waktu mengungjungi kedua sekolah tersebut.
Salah satu hal yang menarik dari sekolah ini adalah penggunaan kapur dan bentuk papan tulis yang tidak konvensional. Bentuknya sangat artistik bisa dibuka tutup yang memungkinkan anak-anak untuk menyerap materi dengan penuh kejutan-kejutan menarik dari gurunya. Setiap bagian dalam papan tulis memiliki arti dan gambar tersendiri. Yang patut diacungi jempol dari setiap ruangan dan papan tulis yang saya lihat adalah kreativitas guru-gurunya dalam menampilkan gambar dan materi yang menarik. Tidak rata-rata, tentu saja.
Para guru membuat dengan kesungguhan dan cita rasa seni yang tinggi. Seperti menggambar salah satu adegan dongeng yang menjadi pengantar untuk belajar anak-anak, membuat komposisi warna pada pelajaran matematika dan pengenalan bidang datar, dll. Sangat artistik dan terlihat bahwa seni adalah bagian tak terpisahkan dari mengajar apapun. Inspirasi semangat ini yang perlu ditiru, saya senang melihat dan merasakan secara langsung energi yang positif dalam menghantarkan pembelajaran untuk anak-anak.
Di kedua sekolah yang saya datangi, saya juga merasakan bahwa berkarya adalah keseharian mereka dan mereka sangat menikmati saat-saat berkarya, saat merancang, dan saat mengerjakannya. Berkarya adalah bagian pembelajaran yang menyenangkan dan menaik.
Dalam berkarya, anak-anak membuat karya individu dan kelompok. Berkarya bisa menjadi proyek yang berdaya guna. Hasil karyanya bisa digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Baik karya kelompok atau juga karya individu, misalnya merajut untuk membuat wadah dekoder. Lebih dalam lagi, merajut adalah bagian dari keterampilan untuk membuat pakaian. Dalam membuat proyek, anak-anak berkarya sesuai jenjangnya. Anak-anak yang lebih besar dengan kemampuan fisik dan motorik kasarnya yang sudah terasah mampu membuat proyek yang besar untuk digunakan anak-anak jenjang kecil. Misalnya membuat rangka kayu untuk permainan, rumah-rumahan dari kayu, dsb.
Dalam berkarya selanjutnya bisa disebut sebagai bagian dari proyek kelas.Proyek yang selalu melibatkan anak-anak dan guru sebagai fasilitator. Pada sekolah yang saya datangi, salah satu proyek besarnya adalah pembuatan ruangan untuk berkarya dengan bahan kayu. Mulai dari meratakan tanah, membuat tiang-tiang penanda, dan membuat pondasi, semua dikerjakan bersama-sama oleh guru dan anak-anak. Anak-anak adalah pemeran utama dalam proyek ini, guru sebagai fasilitator mengarahkan dan membimbing anak-anak untuk bisa menjalankan proyeknya dengan baik.
Mari kita lihat juga proyek di jenjang kelas 2, di sini saya melihat sebuah anyaman dari benang berwarna-warni. Salah seorang guru yang saya temui merendah ketika ditanya itu proyek spektakuler untuk anak-anak kelas 2. “Yah, tapi gak tahu kapan selesainya” kata dia sambil bercanda. Proyek ini dikerjakan setelah mengerjakan pekerjaan rutin sekolah lainnya misalnya mengerjakan lembaran kerja matematika. Tiap anak yang berhasil duluan, boleh mengambil satu benang kemudian disulam dengan cara mengikuti pola yang sudah ada sebelumnya. Proyek ini selain mengajarkan ketekunan, kerapihan, dan ketepatan mengikuti pola juga mengajarkan kreativitas dalam mengolah bahan benang. Anak-anak yang mengerjakan proyek itu sangat menikmati prosesnya, mereka belajar untuk tenang dan mampu mengerjakan sesuai instruksi tanpa harus terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya.
Sebagian sumber artikel ini diambil dari Koran Berani, 15 November 2011.
Artikel ini ditulis oleh Iden Wildensyah. Catatan lainnya bisa dilihat di www.iden.web.id
0 Response to "Mengunjungi Sekolah Waldorf di Thailand"
Post a Comment