New Normal dan Penggunaan Gawai Pada Anak

New Normal dan Penggunaan Gawai Pada Anak

oleh Bernadia Dwiyani

Kita memasuki tahapan baru setelah selama beberapa bulan mengharuskan kita berada di rumah. Pintu-pintu dan pos penjagaan perlahan terbuka, lalu lalang manusia kembali memenuhi jalanan, dan sesak asap kendaraan kembali hadir di tengah-tengah kita. Di masa yang disebut “new normal”, ada baiknya kita merefleksikan pada pribadi kita masing-masing, apa yang sesungguhnya definisi normal? Bagaimana cara kita beradaptasi dengan keadaan baru di tengah-tengah masa transisi ini?  Tentunya kita ketahui bahwa beberapa bulan belakangan ini, proses pendidikan berubah secara drastis. Sekolah-sekolah ditutup dan anak-anak diharuskan belajar bersama orangtua di rumah melalui daring atau virtual meeting.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan prioritas bagi pengembangan pendidikan salah satunya melalui pengunaan teknologi. Ia pun menyatakan bahwa teknologi digunakan untuk meningkatkan kapasitas guru sebagai pendidik, bukan untuk menggantikannya (Kemendikbud.go.id, 2019). Online learning dipercaya sebagai solusi untuk kelangsungan proses pembelajaran selama masa PSBB berlangsung. Namun di satu sisi memiliki dampak negatif yang tercipta dari paparan berlebihan baik melalui media televisi, komputer, telpon genggam, maupun tablet.

Yang harus kita kritisi, apakah nantinya di masa “new normal” penggunaan gawai dapat pula dianggap hal yang normal? Penggunaan gawai yang melebihi batas, yang mampu mereduksi kemampuan kognitif, sosial, emosional dan kualitas interaksi anak adalah hal yang normal. Mari kita pahami terlebih dahulu dampak penggunaan gawai secara berlebihan.

Kegiatan Mendongeng


Neurologis

Hasil dari beberapa penelitian menyatakan pengaruh paparan gawai dapat mempengaruhi perkembangan otak manusia khususnya yang terjadi pada anak. Batas aman penggunaan gawai menurut American Academy of Pediatric yakni tidak ada paparan gawai untuk anak dibawah 2 tahun dan maksimal satu jam per hari untuk anak 2-5 tahun.

Penelitian melalui proses MRI pada otak anak di lakukan di rentang umur 3-5 tahun pada anak yang terpapar lebih dari satu jam tiap harinya. Hasil menunjukkan rendahnya jumlah basal ganglia (neuron dalam otak) di area perkembangan bahasa, literasi, kemampuan kognitif. Sedangkan perkembangan otak sangat penting di masa 0-5 tahun pertama manusia. Otak pada anak memiliki  sifat plastisitas yang tinggi dan sangat mudah menyerap informasi, untuk membangun memori dan koneksi dari pengalaman sehari-hari (LaMotte, 2019).

Penurunan otot kognitif terjadi pada kondisi anak yang terbiasa menggunakan gawai secara berlebihan. Informasi didapatkan oleh anak secara instan seperti gambar, suara, dan kata disaat bersamaan. Sayangnya, hal tersebut menyebabkan anak cenderung malas dan tidak tertarik untuk memproses informasi. Anak tidak memiliki ketertarikan untuk mendengarkan cerita secara verbal misalkan dari orangtua, dan tidak ingin memproses informasi secara organik juga menghasilkan imajinasinya sendiri (Margalit, 2016). Hal lain yang ditemukan adalah terpangkasnya secara bertahap sistem lobus frontal yang berperan pada regulasi emosi (Barron, 2015).

Psikologis

Beberapa dampak secara psikologis juga dihasilkan yakni:

-          Penurunan kemampuan menggunakan bahasa ekspresif (mengekspresikan keinginan atau kebutuhan secara verbal/ nonverbal) dan pemahaman literasi

-          Penurunan kemampuan bersosialisasi, dikarenakan kesulitan memahami ekspresi wajah orang lain dan tidak tertarik melakukan interaksi secara langsung.

-          Kesulitan dalam regulasi emosi, dan kesulitan untuk menunggu. Hal ini banyak terjadi karena anak terbiasa memperoleh gratifikasi secara instan.  

-          Peningkatan hormon dopamin dari aktivasi otak, meningkatkan keinginan anak untuk terpapar gadget lebih lama, dan dapat menghasilkan adiksi.

-          Pada remaja meningkatkan simptom depresi dan kesulitan tidur

Oleh karena itu orangtua, pengajar, maupun orang dewasa dapat mencoba menyeimbangkan kegiatan anak dengan aktivitas lainnya. Richard Louv, peneliti, penulis, dan aktivis terkait “nature -deficit disorder” (gangguan tingkah laku akibat penurunan aktivitas bersama alam) menyatakan pentingnya melakukan penyeimbangan antara aktivitas dengan media digital dengan alam.  Kegiatan diluar berinteraksi dengan alam atau bahkan menghadirkan material alam ke dalam rumah dapat menjadi alternatif yang bermanfaat untuk mengaktifkan kemampuan indera anak. Aktivitas ini secara langsung mendukung perkembangan otak secara optimal.

Beberapa alternatif kegiatan

Mengeksplorasi tanah liat

Bermain dengan tanah liat dapat menjadi kegiatan yang menarik bagi anak. Tanah liat dapat dibeli dan ditemukan dengan mudah di Indonesia, dan dapat bertahan dalam waktu yang lama, natural dan tidak mengandung unsur kimia. Pada beberapa kegiatan terapi, tanah liat banyak digunakan untuk relaksasi, melatih kemampuan konsentrasi, dan  imajinasi. Bagi anak tanah liat menjadi media yang sangat menarik untuk berimajinasi dan menghasilkan produk imajinasi.

Open-ended toys

Sebagian dari kita sudah sering mendengar terkait “open-ended toys” atau alat permainan yang menstimulus imajinasi anak. Bahan yang sederhana dan bisa ditemukan di sekitar kita seperti, potongan ranting, daun, batu, kayu, dan banyak lagi. Open-ended toys dapat memberikan ruang bagi anak untuk meningkatkan kreativitas, keamampuan kognitif seperti pemecahan masalah, dan bahkan menstimulus kemampuan sosial dan komunikasi. Contoh, berikan anak beberapa balok kayu kemudian mereka secara mandiri dapat membentuk bangunan, mobil, dan bahkan berimajinasi sebagai makanan. Bentuk permainan ini mampu menghadirkan diri anak secara penuh saat berinteraksi baik dengan orang dewasa, saudara, atau teman sebaya.

Kerajinan tangan

Kerajinan tangan seperti meronce, mencap, dan merajut dapat diterapkan sebagai alternatif kegiatan. Bahan-bahan yang digunakan dapat berupa bahan daur ulang atau yang mudah ditemukan di rumah. Bahkan sisa-sisa sayuran dapat menjadi media cap yang menyenangkan atau sisa baju rusak untuk merajut. Anak dilatih kesabaran dan kemampuan dalam berkonsentrasi, selain itu mereka melatih kegigihan untuk menyelesaikan sesuatu. Pastinya yang penting diingat untuk memperhatikan keamanan, contohnya; menggunakan material yang berukuran cukup lebar pada anak yang lebih kecil.

Proses membumi

Proses membumi adalah proses memberikan kesadaran penuh pada seluruh indera yang kita miliki. Beberapa aktivitas membumi yang dapat dilakukan misalkan, memfokuskan pada satu objek tertentu dengan indera pengelihatan kita mencoba melihat bagian kecil dari objek tersebut. Hal lain misalkan mengaktifkan indera penciuman dengan menyiapkan beberapa bumbu yang dapat dicium oleh anak, ajak mereka untuk mengidentifikasi dan mendiferensiasikan. Berjalan di taman atau tempat yang tenang dan memfokuskan pada proses melangkah dan merasakan tekstur tanah dibawah kaki kita. 

Mendongeng

Proses menyampaikan cerita secara verbal telah teruji mampu meningkatkan kemampuan anak dalam berimajinasi, berkomunikasi, dan kedekatan dengan orangtua. Setelah melakukan proses membumi, orang tua dapat mengangkat pengalaman yang dialami sebagai sebuah cerita. Pada anak yang cukup besar mereka bahkan dapat membuat cerita bersama –sama dengan orangtua. Misalkan, anak sebelumnya melihat kodok dan orangtua di malam harinya dapat membuat cerita sederhana terkait kodok dan raja peri. Hal ini dapat meningkatkan atensi dan semangat anak untuk mendengarkan cerita dan memprosesnya secara kognitif. Cerita juga dapat diberikan dalam alur yang berbeda, misalkan beberapa cerita yang diceritakan tiap harinya berbeda namun pada akhirnya berusaha untuk mencapai tujuan yang sama.  

Pada akhirnya, proses “new normal” diharapkan menjadi masa baru bagi peningkatan kualitas hubungan antara orangtua dan anak. Mendukung terciptanya kedekatan secara emosional dan komunikasi secara maksimal bagi perkembangan anak dimasa depan. Hal penting lainnya adalah mendekatkan anak pada alam yang menjadi bagian langsung kehidupan kita.

 

Daftar Pustaka

Barron, Carrie. (2015). How Technical Devices Influence Children's Brains. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-creativity-cure/201505/how-technical-devices-influence-childrens-brains 

Children and Media Tips from the American Academy Pediatrics. (2018). Diakses dari https://www.aap.org/en-us/about-the-aap/aap-press-room/news-features-and-safety-tips/Pages/Children-and-Media-Tips.aspx

LaMotte, Sandee. (2019). MRIs Show Screen Time Linked to Lower Brain Development in Preschoolers. CNN News. Diakses dari    https://edition.cnn.com/2019/11/04/health/screen-time-lower-brain-development-preschoolers-wellness/index.html

Margalit, Liraz. (2016). What Screen Time Can Really Do to Kids' Brain. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/behind-online-behavior/201604/what-screen-time-can-really-do-kids-brains 

Mendikbud Ungkap Teknologi Tidak untuk Gantikan Guru. (2019). Diakses dari https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/mendikbud-ungkap-     teknologi-tidak-untuk-gantikan-guru 

Multari, Colleen. (2016). The Benefit of Open-Ended Toys fo Kids. NY Metro Parents. Diakses dari https://www.nymetroparents.com/article/Why-Simple-Toys-Prove-to-Be-More-Beneficial-For-Kids

Radcliffe, Shawn. (2018).  Is Screen Time Altering the Brains of Children? Healthline Parenthood. Diakses dari https://www.healthline.com/health-news/how-does-screen-time-affect-kids-brains 

 


Related Posts:

0 Response to "New Normal dan Penggunaan Gawai Pada Anak"

Post a Comment