Saya bukan guru. Saya bukan tukang kebun.Tapi hari itu, saya jadi dua-duanya. Dan layaknya pegawai teladan di hari pertama bekerja, tentu saja semua pekerjaan dilakuka n dengan kesungguhan hati. Datang pagi-pagi sekali. Menyapa kepala sekolah dan guru-guru. Pakai seragam apron. Bebas pilih pekerjaan. Mulai bekerja. Mencabuti rumput. Menguras kolam ikan. Menangkap ikan. Membuang lumpur. Menyikat kolam. Mengisi kembali. Melepaskan ikan. Menyimpan peralatan. Selesai.
Pekerjaan di pagi hari itu, adalah hal yang paling menyenangkan buat saya. Seperti pemanasan sebelum olahraga, bergerak dan bekerja artinya menyiapkan tubuh untuk kegiatan selanjutnya. Dan juga menyiapkan hati. Saya yang biasanya selalu grogi setiap bertemu orang-orang baru, jadi merasa lebih siap dan gembira setelah bekerja. Mungkin karena berhasil menyelesaikan satu pekerjaan, ada rasa bangga pada diri sendiri dari kesuksesan kecil tadi, mungkin juga karena darah lebih mengalir setelah berkeringat, saya jadi lebih lancar bicara dan menyapa anak-anak yang datang.
Rupanya di tengah saya mengaduk-aduk lumpur di kolam, beberapa anak sudah mulai berdatangan. Sebagian yang penasaran, mengintip-intip apa yang sedang saya lakukan. Sebagian yang lebih berani, mendatangi saya dan bertanya. Yang lebih penasaran dan berani, akan ikut bekerja bersama saya. Ikut-ikutan menyikat dengan sapu. Ikut-ikutan bermain jaring. Ikut-ikutan menyentuh ikan. Ikut-ikutan membuang dedaunan berlumpur.
Sore Seru Arunika Waldorf |
Sehari sebelumnya, saya dapat wejangan tertulis dari Bu Kepala Sekolah. Salah satu pesan yang saya ingat baik-baik, adalah, “we ask you to hold off the prohibitions and warnings for the children when they are in the process of exploring their world…”. Yang kedua, “Children under 7 years old naturally imitate everything they can sense in their environment…”
Anak-anak bisa merasakan emosi, perasaan kita itu semua tercermin dari sikap tubuh, gestur, cara bergerak, cara bertutur kata. Semua dirasakan. Semua ditiru. Baru sekarang saya sadar, betapa kuatnya arti kata ‘meniru’. Bagaimana seandainya saya tidak menikmati pekerjaan yang saya lakukan. Bagaimana raut muka saya ketika menyentuh lumpur. Bagaimana ekspresi saya ketika memindahkan ikan. Bagaimana suara saya jika takut bertemu kodok. Bagaimana kalau saya melarang mereka mendekat karena takut kotor. Pesan apa yang kita sampaikan kepada mereka? Jadi, hindari melarang, dan tirukan yang baik. Kedua pesan tersebut yang saya ingat selalu selama berkegiatan sepanjang hari.
Bukan cuma saya yang bekerja. Guru-guru lain, semuanya bekerja. Ada yang mencabuti rumput, ada yang menyapu, kemudian memisahkan biji kapuk, memotong buah untuk dimakan nanti. Semua sibuk berkegiatan. Semua kegiatan yang berarti, yang bermanfaat. Anak-anaknya bebas berbuat apa saja. Ada yang ikut memotong buah. Ada yang bermain bersama temannya yang lain. Semua bebas melakukan apa saja.
Setelah semua datang, sekolah dimulai. Diawali dengan Circle Time. Anak-anak dipanggil untuk berkumpul bersama, memanggilnya dengan lagu. Saya ikutb ermain dan bergandengan tangan bersama.Kemudian cuci tangan dengan iringan lagu lembut yang dinyanyikan Bu Guru. Kemudian masuk kelas. Di dalam kelas, anak-anak bebas memilih permainan. Mau main sendiri atau bersama. Guru kembali bekerja. Menyiapkan makanan untuk dimakan bersama. Atau membersihkan ruangan kelas. Atau menjahit. Atau merajut. Lagi-lagi, semua pekerjaan berarti.
Beberapa anak ikut membantu. Yang lain bermain. Selesai bermain, anak-anak membereskan mainan, tentu dengan iringan lagu lembut dari Bu Guru. Begitupun saat akan makan. Dan setelah selesai makan.Sebelum story telling dimulai. Menyusun bangku. Duduk bersama. Mendengarkan cerita. Semua ada ritmenya. Tidak ada teriakan instruksi atau menyuruh-nyuruh.Tidak ada teriakan memanggil-manggil. Setiap transisi kegiatan mengalir dengan sangat halus, lembut mengalun. Suasananya hangat dan nyaman, aman, seperti sedang berada di dalam rumah.
Hari itu saya masuk ke dunia mereka. Hari itu saya beruntung karena dapat menjadi bagian dari dunia mereka. Bekerja, bermain, dan makan bersama mereka. Mereka pun menyambut kehadiran saya. Tanpa malu-malumereka mengajak bermain, tertawa, dan bermanja bersama saya. Karena saya menjadi bagian dari dunia mereka. Sepanjang hari di sana, saya terus bekerja. Jika cuma melihat-lihat, maka bisa jadi pikiran ini akan mulai membanding-bandingkan, mencari-cari kekurangan. Tapi ketika tangan bekerja, tidakada waktu dan ruang bagi si pikiran untuk menjadi liar tak terkendali. Karena apa yang kita pikirkan, bisa jadi ikut dirasakan oleh anak-anak. Maka lakukan pekerjaan yang baik, pikirkan yang baik.
Saya ingat hari itu saya bersenang-senang. Senang bekerja. Senang bermain. Senang makan bersama. Senang mendengarkan cerita. Sedih ketika harus pulang. Hari yang seharusnya jadi waktu observasi sekolah, malah saya lupa lakukan. Terlalu hanyut bekerja. Terlalu hanyut bermain. Tapi dengan berada di sana, saya cukup merasakan. Di dunia sekolah waldorf, ada perasaan yang tak tampak, tapi benar terasa di dalam hati, ada rasa harmonis, damai, indah. Di dunia, semuanya baik. Di dunia ini, semua ada tempatnya, semua ada perannya. Betapa menyenangkan bisa sekolah di sana. Betapa menyenangkan jika di rumah pun begitu suasananya.
Saya pulang ke rumah dengan membawa pengalaman perasaan itu. Saya ingin sekali bersekolah di sana. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya di sana. Tapi orang tua adalah guru pertama, rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Yang mampu saya lakukan sekarang adalah belajar untuk berusaha memberikan hal terbaik dari diri saya, untuk keluarga saya. Saya belajar untuk berusaha memantaskan diri supaya layak ditiru anak-anak. Sampai hari ini pun terus berusaha. Jadi diri sendiri, tapi lebih baik lagi. Tanpa pamrih, tanpa berpura-pura dan berharap anak langsung mengopi. Biarpun sulit, tapi sekecil apapun usaha untuk berbuat lebih baik, pasti akan membawa kebaikan untuk anak-anak kita.
Sekolah Itu Indah adalah tulisan dari Graceana, seorang pegiat waldorf Balikpapan dan peserta Bandung Waldorf Grade School Teacher Training